أهـــــلا وسهـــــلا ومرحــبـا

نــافذة العــلــم

Rabu, 25 November 2009

SABAR MENURUT SANG SUFI


Al-Syibli, seorang sufi, ditanya oleh seorang pemuda mengenai sabar. ''Sabar macam apa yang paling sulit?'' tanya pemuda itu. ''Sabar demi Allah,'' jawab Al-Syibli. ''Bukan,'' tolak si pemuda. ''Sabar dalam Allah,'' jawab Al-Syibli. ''Bukan,'' katanya. ''Sabar dengan Allah,'' ucapnya. ''Bukan,'' bantahnya. ''Terkutuklah kamu, sabar macam apa itu?'' kata Al-Syibli jengkel. ''Sabar dari Allah,'' jawab pemuda itu. Al-Syibli menangis, lalu pingsan.

Dialog ini menjelaskan kepada kita mengenai tingkatan sabar bagi kaum sufi. Sabar dari Allah (ash-shabr 'an Allah) paling sulit ditempuh dari tingkatan sabar lainnya. Untuk mencapai maqam ini, Ali bin Abi Thalib selalu berdoa, ''Ya, Tuhanku, Junjunganku, Pelindungku! Sekiranya aku bersabar menanggung siksa-Mu, bagaimana aku mampu bersabar berpisah dari-Mu?!''
Dalam literatur tasawuf, sabar (sabr) salah satu maqam, selain zuhd, ma'rifah, mahabbah, tawbah, wara,' faqr, tawakkal, dan ridha. Menurut Nashiruddin Al-Thusi dalam Manazil Al-Sa'irin, ''Sabar membuat batin tidak sedih, lidah tidak mengeluh, dan anggota badan tidak melakukan gerakan-gerakan.''
Sedang bagi orang awam seperti kita, ada tiga tingkatan sabar seperti dijelaskan Nabi Muhammad SAW dalam Al-Kafi. Ali bin Abi Thalib berkata, ''Rasulullah bersabda, 'Ada tiga macam sabar: sabar ketika menderita, sabar dalam ketaatan, dan sabar untuk tidak membuat maksiat.
Orang yang menanggung derita dengan sabar dan senang hati, maka Allah menuliskan baginya tiga ratus derajat (yang tinggi), ketinggian satu derajat atas derajat lainnya seperti jarak antara bumi dan langit. Dan orang yang sabar dalam ketaatan, maka Allah menuliskan baginya enam ratus derajat (yang tinggi), ketinggian satu derajat atas derajat lainnya seperti derajat antara dalamnya bumi dan 'Arsya. Dan orang yang sabar untuk tidak berbuat maksiat, maka Allah menuliskan baginya sembilan ratus derajat (yang tinggi), ketinggian satu derajat atas derajat lainnya seperti jarak antara dalamnya bumi dan batas-batas terjauh 'Arsy.''
Sabar ketika menderita berarti kita tabah menghadapi musibah dan bencana yang ditimpakan oleh Allah (Q.S. 2:155-57), sebagai ujian untuk menyadarkan kita. Sabar dalam ketaatan berarti kita menahan kesusahan dalam menjalankan ibadah. Contoh konkret, para calhaj harus bersabar ketika pemberangkatannya tertunda. Sabar dalam musibah adalah sumber ridha atau puas menerima takdir Allah. Sabar dalam ketaatan merupakan sumber keakraban dengan Allah. Dan, sabar tidak berbuat dosa adalah sumber ketakwaan diri kepada Allah.- ah

METODE MENGHAFAL AL-QUR’AN


Berikut ini adalah salah satu dari metode bagi anda yang mau menghafal ayat-ayat dalam al Qur’an. Tapi yang perlu diperhatikan sebelumnya bahwa,
Obat terbesar dalam menghafal dan memahami adalah taqwa kepada Allah SWT. “Bertaqwalah kepada Allah, niscaya Dia mengajarimu”
Imam Syafi;i berkata, “Aku mengadukan perihal keburukan hafalanku kepada guruku, yang bernama Imam Waki’, lalu guruku berwasiat agar aku menjauhi maksiat dan dosa. Guruku kemudian berkata: ‘Muridku, ketahuilah bahwa ilmu adalah cahaya. Dan cahaya Allah tidak akan diberikan kepada orang-orang yang maksiat’”.
Adapun langkah-langkah menghafal al Qur’an, sebagai berikut:
1. Hendaklah permulaan hafalan al Qur’an dimulai dari surat An Naas lalu al Falaq, yakni kebalikan dari urutan surat-surat al Qur’an. Cara ini akan memudahkan tahapan dalam perjalanan menghafal Al Qur’an serta memudahkan latihan dalam membacanya di dalam shalat baik.
2. Membagi hafalan menjadi dua bagian. Pertama, hafalan baru. Kedua, membaca al Qur’an ketika shalat.
3. Mengkhususkan waktu siang, yaitu dari fajar hingga maghrib untuk hafalan baru.
4. Mengkhususkan waktu malam, yaitu dari adzan Maghrib hingga adzan Fajar untuk membaca al Qur’an di dalam shalat.
5. Membagi hafalan baru menjadi dua bagian: Pertama hafalan. Kedua, pengulangan. Adapun hafalan, hendaknya ditentukan waktunya setelah shalat fajar dan setelah Ashar. Sedangkan pengulangan dilakukan setelah shalat sunnah atau wajib sepanjang siang hari.
6. Meminimalkan kadar hafalan baru dan lebih memfokuskan pada pengulangan ayat-ayat yang telah dihafal.
7. Hendaklah membagi ayat-ayat yang telah dihafal menjadi tujuh bagian sesuai jumlah hari dalam sepekan, sehingga membaca setiap bagian dalam shalat setiap malam.
8. Setiap kali bertambah kadar hafalan, maka hendaklah diulangi kadar pembagian pengelompokan pekanannya agar sesuai dengan kadar tambahan.
9. Hendaklah hafalannya persurat. Jika surat tersebut panjang, bisa dibagi menjadi beberapa ayat berdasarkan temannya. Tema-tema yang panjang juga bisa dibagi menjadi dua bagian atau lebih. atau dapat juga dikumpulkan surat-surat atau tema-tema yang pendek menjadi satu penggalan. Yang penting pembagian tersebut tidak asal-asalan, bukan berdasarkan berapa halaman atau berapa barisnya.
10. Tidak dibenarkan dan tidak diperbolehkan sama sekali melewati surat apapun sampai ia menghafalnya secara keseluruhan, seberapa pun panjangnya. Dan setelah menghafalnya secara keseluruhan, maka hendaklah diulang-ulang beberapa kali dalam tempo lebih dari satu hari.
11. Apabila di tengah shalat malam mengalami kelemahan dalam hafalan sebagian surat, maka hendaklah dilakukan pengulangan kembali disiang hari di hari berikutnya. Dalam kondisi seperti ini, tidak dibenarkan memulai hafalan baru. Kebanyakan hal seperti ini terjadi di awal-awal hari setelah menyelesaikan hafalan baru.
12. Sangat dianjurkan sekali untuk memperdengarkan surat-surat yang akan digunakan dalam shalat malam kepada orang lain.
13. Sangat baik mendidik anggota keluarga dengan metode ini. Caranya dengan membuat jadwal pekanan bagi setiap anggota keluarga dan memperdengarkan hafalan kepada mereka di siang hari, mengingatkan kepada mereka, memotivasi mereka untuk membacanya ketika shalat malam, serta membekali mereka supaya bisa berlatih sehingga tumbuh berkembang diatas al Qur’an. Dan al Qur’an bisa menjadi teman bagi mereka yang tidak bisa lepas darinya dan tidak kuasa untuk berpisah dengannya. Serta bisa menjadi lentera yang menerangi jalan kehidupan mereka.
14. Hendaklah memperhatikan cara membacanya. Bacaan harus tartil (perlahan) dan dengan suara yang terdengar oleh telinga. Bacaan yang tergesa-gesa walaupun dengan alasan ingin menguatkan hafalan baru adalah bentuk pelalaian terhadap tujuan membaca al Qur’an (untuk memperoleh ilmu, untuk diamalkan, untuk bermunajat kepada Allah, untuk memperoleh pahala, untuk berobat dengannya).
15. Tujuan dari menghafal al Qur’an bukanlah untuk menghafal lafadz-lafadznya dalam jumlah yang banyak. tetapi tujuannya adalah mengulang-ulang surat yang telah dihafal dalam shalat dengan niatan, mentadabburi al Qur’an. tetapi apabila mampu menghafal banyak surat sesuai apa yang telah disebutkan diatas, itu lebih utama dari pada sedikit menghafal. Yang terpenting adalah menerapkan kaidah diatas. Apabila menurutmu waktu sangat sempit maka ambillah kadar yang sedikit namun terus diulang-ulang.

NILAI ETIKA KITAB TA’LIM AL-MUTA’ALLIM KARYA AL-ZARNUJĪ

Pendahuluan
Jaman berkembang dengan pesat. Peradaban manusia semakin modern. Dinamika sosial ditandai dengan perubahan pola pikir konvensional ke arah paradigma baru. Mode, life style klasik berkembang dan berubah menjadi life style metropolis, seiring dengan perkembangan jaman.
Ada dampak yang paradok dari perkembangan tersebut, yakni positif dan negatif. Dampak positif perubahan dapat dirasakan dalam kehidupan sehari-hari, seperti dekatnya jarak dunia yang dapat dijangkau dengan alat transportasi dan komunikasi modern, dan lain sebagainya. Namun, dampak negatif dari perubahan tersebut pun sulit dibendung. Pola pemikiran yang serba rasionalis, agresif, dan empiris akan menjebak manusia dalam kehampaan (nihilis) dan sekuler, bahkan atheis.
Efek negatif dari modernitas juga akan mendehumanisasi (objektivasi) manusia, yang ditandai dengan agresivitas (tindak kriminal baik personal maupun kolektif), loneliness (privatisasi), dan spiritual alienation. Sejalan dengan pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, diperlukan pengembangan pendidikan yang “sesuai” dengan tuntutan perkembangan jaman, dengan mempertimbangkan aspek-aspek pengaruh positif dan negatif. Hal ini karena pendidikan sebagai bagian dari peradaban manusia, mau tidak mau pasti akan mengalami perubahan dan perkembangan. Nilai-nilai ( values) merupakan sesuatu yang sangat krusial dalam kehidupan, termasuk dalam pendidikan. Tanpa nilai-nilai (kejujuran, keadilan, kesetaraan, dan lainnya), maka manusia seolah sebagai “robot-robot” berkaki dua. Di dunia pendidikan, guru hanya sebagai “pentransfer ilmu” layaknya robot, dan siswa sebagai “penerima” layaknya robot. Interaksi guru dan siswa menjadi “mekanistik” bagai mesin. Kondisi pendidikan yang demikian, mendorong kita untuk membangun paradigma baru pendidikan yang tidak hanya berorientasi pada ilmu pengetahuan ( knowledge oriented) dan ketrampilan ( skill oriented), namun juga berorientasi pada nilai ( values oriented).
Proses pembelajaran yang menekankan pada nilai-nilai (kejujuran, keharmonisan, saling menghargai, dan kesetaraan) adalah hal yang tidak bisa dikesampingkan, apalagi dielakkan. Dengan demikian, pendidikan harus memenuhi tiga unsur: pengetahuan ( ‘ilm), pengajaran ( ta’lim), dan pengasuhanyang baik ( tarbiyah). Proses pendidikan yang mengedepankan nilai-nilai sebagaimana di atas mendapat perhatian serius tokoh pendidikan abad ke-12 M, al-Zarnuji. Dia menyusun Ta’lim al-Muta’allim yang di dalamnya sarat dengan nilai-nilai etik dan estetik dalam proses pembelajaran. Kitab ini telah dijadikan referensi wajib bagi santri di sebagian besar pondok pesantren di Nusantara. Nilai estetik tampak pada pemikiran al-Zarnuji tentang relasi dan interaksi guru dengan murid, murid dengan murid, dan murid dengan lingkungan sekitar.
Al-Zarnuji dan Ta’lim al-Muta’allim
Nama lengkap al-Zarnuji adalah Burhan al-Islam al-Zarnuji. Pendapat lain mengatakan bahwa nama lengkapnya adalah Burhan al-Din al-Zarnuji . Nama akhirnya dinisbahkan dari daerah tempat dia berasal, yakni Zarnuj , yang akhirnya melekat sebagai nama panggilan. Plessner, dalam The Encyclopedia of Islam mengatakan bahwa nama asli tokoh ini sampai sekarang belum diketahui secara pasti, begitu pula karir dan kehidupannya. Menurut M. Plessner,al-Zarnuji hidup antara abad ke-12 dan ke-13. Dia adalah seorang ulama fiqh bermazhab Hanafiyah , dan tinggal di wilayah Persia.
Plessner memperkirakan tahun yang relatif lebih mendekati pasti mengenai kehidupan al- Zarnuji. Dia juga merujuk pada data yang dinyatakan oleh Ahlwardt dalam katalog perpustakaan Berlin, Nomor III, bahwa al-Zarnuji hidup pada sekitar tahun 640 H (1243 M), perkiraan ini didasarkan pada informasi dari Mahbub B. Sulaeman al-Kafrawi dalam kitabnya, A’lam al Akhyar min Fuqaha’ Madzhab al-Nu’man al-Mukhdar, yang menempatkan al-Zarnuji dalam kelompok generasi ke-12 ulama mazhab Hanafiyah. Kemudian, Plessner menguji perkiraan Ahlwardt dengan mengumpulkan data kehidupan sejumlah ulama yang diidentifikasikan sebagai guru al-Zarnuji, atau paling tidak, pernah berhubungan langsung dengannya. Di antaranya adalah :
1. Imam Burhan al-Din Ali bin Abi Bakr al- Farghinani al-Marghinani (w. 593 H/ 1195 M).
2. Imam Fakhr al-Islam Hasan bin Mansur al-Farghani Khadikan (w. 592 H/ 1196 M).
3. Imam Zahir al-Din al-Hasan bin Ali al-Marghinani (w.600 H/ 1204 M).
4. Imam Fakhr al-Din al-Khasani (w. 587 H/ 1191 M), dan Imam Rukn al-Din Muhammad bin Abi Bakr Imam Khwarzade (491-576 H).
Berdasarkan data di atas, Plessner sampai pada kesimpulan bahwa waktu kehidupan al-Zarnuji lebih awal dari waktu yang diperkirakan oleh Ahlwardt. Namun, Plessner sendiri tidak menyebut tahun secara pasti, hal lain yang disimpulkan secara lebih meyakinkan adalah bahwa kitab Ta’lim al-Muta’allim ditulis setelah tahun 593 H.
Ahmad Fuad al-Ahwani memperkirakan bahwa al-Zarnuji wafat pada tahun 591 H/ 1195M. Dengan demikian, belum diketahui hidupnya secara pasti, namun jika diambil jalan tengah dari berbagai pendapat di atas, al-Zarnuji wafat sekitar tahun 620-an H.
Kitab Ta’lim al-Muta’allim merupakan satu-satunya karya al-Zarnuji yang sampai sekarang masih ada. Menurut Haji Khalifah dalam bukunya Kasyf al-Zunun ‘an Asami’ al-Kitab al-Funun, dikatakan bahwa di antara 15000 judul literatur yang dimuat karya abad ke-17 itu tercatat penjelasan bahwa kitab Ta’lim al-Muta’allim merupakan satu-satunya karya al-Zarnuji. Kitab ini telah diberi syarah oleh Ibrahim bin Ismail yang diterbitkan pada tahun 996 H. Kitab ini juga telah diterjemahkan ke dalam bahasa Turki oleh Abdul Majid bin Nusuh bin Israil dengan judul Irsyad al-Ta’lim fi Ta’lim al-Muta’allim.
Kepopuleran kitab Ta’lim al-Muta’allim, telah diakui oleh ilmuwan Barat dan Timur. Muhammad bin Abdul Qadir Ahmad menilainya sebagai karya monumental, yang mana orang alim seperti al-Zarnuji pada saat hidupnya disibukkan dalam dunia pendidikan, sehingga dalam hidupnya sebagaimana Muhammad bin Abdul Qadir Ahmad hanya menulis sebuah buku.
Tetapi pendapat lain mengatakan bahwa kemungkinan karya lain al-Zarnuji ikut hangus terbakar karena penyerbuan biadab ( invation barbare) bangsa Mongol yang dipimpin oleh Jenghis Khan (1220-1225 M), yang menghancurkan dan menaklukkan Persia Timur, Khurasan dan Transoxiana yang merupakan daerah terkaya, termakmur dan berbudaya Persia yang cukup maju, hancur lebur berantakan, tinggal puing-puingnya.
Atmosfir Belajar dan Estetika Ta’lim al-Muta’allim
Ta’lim al-Muta’allim, sebagai panduan pembelajaran (belajar-mengajar) terutama bagi murid berisi muqaddimah dan 13 fasl (pasal, bagian). Dalam muqqadimah, al-Zarnuji mengatakan bahwa pada jamannya, banyak penuntut ilmu (murid) yang tekun tetapi tidak bisa memetik manfaat dari ilmu itu (mengamalkan dan menyebarkannya). Hal ini disebabkan karena peserta didik meninggalkan persyaratan yang harus dipenuhi, sehingga mereka gagal. Al-Zarnuji dalam muqaddimah kitabnya mengatakan bahwa kitab ini disusun untuk “meluruskan” tata-cara dalam menuntut ilmu. Adapun dari fasl 1 sampai 13, al-Zarnuji memberikan solusi tentang tata-cara menuntut ilmu.
Pada kajian ini, penulis tidak akan membahas secara keseluhan yang berkaitan dengan solusi yang ditawarkan al-Zarnuji, tetapi penulis membatasi pada relasi antara guru dengan murid yang memiliki nilai estetik.
Menurut al-Zarnuji, belajar bernilai ibadah dan mengantarkan seseorang untuk memperoleh kebahagiaan duniawi dan ukhrawi. Karenanya, belajar harus diniati untuk mencari ridha Allah, kebahagiaan akhirat, mengembangkan dan melestarikan Islam, mensyukuri nikmat akal, dan menghilangkan kebodohan.
Dimensi duniawi yang dimaksud adalah sejalan dengan konsep pemikiran para ahli pendidikan, yakni menekankan bahwa proses belajar-mengajar hendaknya mampu menghasilkan ilmu yang berupa kemampuan pada tiga ranah yang menjadi tujuan pendidikan/ pembelajaran, baik ranah kognitif, afektif, maupun psikomotorik.
Adapun dimensi ukhrawi, al-Zarnuji menekankan agar belajar adalah proses untuk mendapat ilmu, hendaknya diniati untuk beribadah. Artinya, belajar sebagai manifestasi perwujudan rasa syukur manusia sebagai seorang hamba kepada Allah SWT yang telah mengaruniakan akal. Lebih dari itu, hasil dari proses belajar-mengajar yang berupa ilmu (kemampuan dalam tiga ranah tersebut), hendaknya dapat diamalkan dan dimanfaatkan sebaik mungkin untuk kemaslahatan diri dan manusia. Buah ilmu adalah amal. Pengamalan serta pemanfaatan ilmu hendaknya dalam koridor keridhaan Allah, yakni untuk mengembangkan dan melestarikan agama Islam dan menghilangkan kebodohan, baik pada dirinya maupun orang lain. Inilah buah dari ilmu yang menurut al-Zarnuji akan dapat menghantarkan kebahagiaan hidup di dunia maupun akhirat kelak.
Dalam konteks ini, para pakar pendidikan Islam termasuk al-Zarnuji mengatakan bahwa para guru harus memiliki perangai yang terpuji. Guru disyaratkan memiliki sifat wara’ (meninggalkan hal-hal yang terlarang), memiliki kompetensi (kemampuan) dibanding muridnya, dan berumur (lebih tua usianya). Di samping itu, al-Zarnuji menekankan pada “kedewasaan” (baik ilmu maupun umur) seorang guru. Hal ini senada dengan pernyataan Abu Hanifah ketika bertemu Hammad, seraya berkata: “Aku dapati Hammad sudah tua, berwibawa, santun, dan penyabar. Maka aku menetap di sampingnya, dan akupun tumbuh dan berkembang”.
Para ilmuwan, sastrawan, dan filosof, memberikan nilai yang terhormat dan menempatkan posisi strategis bagi para pelaku pendidikan. Al-Ghazali misalnya berkata: “Siapa yang memperoleh ilmu pengetahuan dan ia mengambil daya-guna untuk kepentingan dirinya, kemudian mentransformasikan untuk orang lain, maka orang itu ibarat matahari yang bersinar untuk dirinya dan untuk orang lain”.
Dalam kitab Ta’lim al-Muta’allim, guru berperan membersihkan, mengarahkan, dan mengiringi hati nurani siswa untuk mendekatkan diri kepada Allah dan mencari ridla-Nya. Dengan kata lain, ini adalah dimensi sufistik. Peran kedua adalah peran pragmatik. Artinya, guru berperan menanamkan nilai-nilai pengetahuan dan keterampilan kepada muridnya. Hal ini bisa dicontohkan dengan diwajibkan dan diharamkannya ilmu. Kalau tidak ada guru, siswa akan kebingungan.
Selain itu, guru juga memilihkan ilmu mana yang harus didahulukan dan diakhirkan, beserta ukuran-ukuran yang harus ditempuh dalam mempelajarinya. Unsur kedua yang memegang peranan penting dalam pendidikan adalah anak didik. Anak didik adalah manusia yang akan dibentuk oleh dunia pendidikan. Ia adalah objek sekaligus subjek, yang tanpa keberadaannya proses pendidikan mustahil berjalan.
Al-Zarnuji dalam membahas hal-hal yang berkaitan dengan anak didik, lebih mengaksentuasikan pada kepribadian atau sikap dan moral yang mulia, yang perlu dimiliki oleh para pelajar. Kepribadian yang harus dimiliki oleh murid, sebagimana dikatakan al-Zarnuji adalah setiap murid harus mempunyai sifat-sifat; tawadu’, ‘iffah (sifat menunjukkan harga diri yang menyebabkan seseorang terhindar dari perbuatan yang tidak patut), tabah, sabar, wara’ (menahan diri dari perbuatan yang terlarang) dan tawakal yaitu menyerahkan segala perkara kepada Allah.
Di samping itu, al-Zarnuji juga menganjurkan agar dalam menuntut ilmu, murid hendaknya mencintai ilmu, hormat kepada guru, keluarganya, sesama penuntut ilmu lainnya, sayang kepada kitab dan menjaganya dengan baik, bersungguh-sungguh dalam belajar dengan memanfaatkan waktu yang ada, ajeg dan ulet dalam menuntut ilmu serta mempunyai cita-cita tinggi dalam mengejar ilmu pengetahuan.
Persyaratan-persyaratan tersebut, bagi penulis merupakan persyaratan yang bersifat rohaniah. Ini tidak berarti dia mengabaikan persyaratan yang bersifat jasmaniah, seperti kebutuhan makan, minum, dan kesehatan. Namun, persyaratan jasmaniah adalah merupakan persyaratan yang melekat dalam kehidupan manusia sehari-hari, sedangkan persyaratan rohaniah tidak demikian.
Selain guru dan murid, faktor penting lain dalam pendidikan adalah faktor kurikulum. Kurikulum merupakan faktor yang sangat penting dalam proses kependidikan dalam suatu lembaga pendidikan. Mata pelajaran yang harus diketahui dan dihayati oleh anak didik harus ditetapkan dalam kurikulum. Materi pelajaran yang akan disajikan kepada anak didik, harus dijabarkan terlebih dahulu dalam kurikulum. Dengan demikian, dalam kurikulum tergambar dengan jelas dan berencana, bagaimana dan apa saja yang harus terjadi dalam proses belajarmengajar yang dilakukan oleh pendidik dan anak didik.
Dalam masalah kurikulum, al-Zarnuji tidak menjelaskan secara rinci. Dalam kitab Ta’lim muta’allim dijelaskan tentang pelajaran yang harus dipelajari dan urutan ilmu yang dipelajari. Secara filosofis, dia memberikan uraian-uraian mata pelajaran sebagai kandungan dalam kurikulum seperti panjang pendeknya pelajaran, pelajaran yang harus didahulukan dan diakhirkan, pelajaran yang wajib dan yang haram dipelajari.
Sekuen materi pelajaran hendaknya mengambil pelajaran baru yang dapat dihapalkan dan dipahami setelah diajarkan oleh guru. Selanjutnya setiap harinya ditambah sedikit demi sedikit ( tajrij) sehingga pada suatu ketika menjadi kebiasaan. Jika ukuran pelajaran yang diberikan sukar dan di atas kemampuanya, anak akan sukar untuk memahaminya, yang akan mengakibatkan hilangnya kepercayaan kepada diri sendiri karena ia tidak memperoleh santapan jiwa yang sesuai buat pertumbuhan akalnya dan buat kemajuan. Pernyataan al-Zarnuji di atas sejalan dengan pendapat pakar pendidikan modern yang menyerukan pembawaan anak didik harus diperhatikan dan dijadikan sebagai dasar dalam mengajar.
Untuk mengimplementasikan kurikulum secara praktis, al-Zarnuji memberi acuan hal-hal yang harus dikerjakan, seperti wara’ dalam belajar, pemilihan waktu belajar-mengajar yang tepat, dan ukuran (sekuen) materi pelajaran.
Bagi al-Zarnuji, bukan masalah banyak sedikitnya materi, tetapi yang lebih penting adalah materi yang lebih mendesak dan dibutuhkan. Ini berarti, al-Zarnuji memiliki pandangan bahwa kurikulum yang dipelajari harus relevan, yakni sesuai kebutuhan peserta didik.
Hal ini sudah barang tentu harus disesuaikan dengan kemampuan anak didik. Oleh karenanya, mula-mula bahan yang diberikan adalah yang mudah terlebih dahulu, baru naik ke tingkat yang lebih sukar. Ini menunjukkan, bahwa materi yang diberikan harus disesuaikan dengan kematangan anak didik. Sesuai dengan pandangan al-Zarnuji ini, ilmu dapat diklasterisasikan menjadi beberapa kriteria, yakni ilmu yang dipelajari dari sudut pandang kegunaannya. Ilmu yang dimaksud di sini adalah ilmu agama dan ilmu umum, seperti kedokteran dan ilmu falak, yang semuanya digunakan untuk kemaslahatan. Di samping ilmu-ilmu yang disebutkan di atas, ada ilmu-ilmu yang dilarang mempelajarinya, karena dianggap membahayakan seperti; ilmu mantiq, filsafat, dan ilmu jad. Meskipun secara gamblang al-Zarnuji tidak merinci ilmu mana yang secara sekuen diperuntukkan untuk tingkat rendah, menengah, dan tinggi, tetapi dia memberikan pandangannya tentang ilmu mana yang patut dipelajari oleh pelajar.
Dalam Ta’lim al-Muta’allim al-Zarnuji mengatakan bahwa proses belajar-mengajar hendaknya dilaksanakan sesuai dengan perkembangan jiwa seseorang. Misalnya, pada usia kanakkanak, aktivitas menghapal dengan cara perulangan harus diutamakan. Hal ini karena pola-pikir anak didik masih bersih, dan anak-anak masih cenderung untuk meniru apa yang disampaikan oleh sang Guru. Pada usia pendidikan menengah, anak didik mulai dikenalkan untuk memahami apa yang diajarkan oleh guru. Mata pelajaran yang telah diajarkan bukan sekedar untuk dihapal, tetapi harus dipahami makna-makna yang terkandung di dalamnya. Pada tahapan berikutnya, di samping menghapal dan memahami, anak didik harus aktif dan merefleksikan, serta kreatif untuk bertanya. Lebih lanjut al-Zarnuji mengatakan bahwa bertanya itu lebih baik dari pada menghapal selama satu bulan. Para pelajar hendaknya mencatat pelajaran-pelajaran yang telah diberikan oleh guru. Untuk mencapai keberhasilan belajar, seorang murid seharusnya mempunyai kemauan yang keras dan berusaha secara serius karena sebuah kemauan tanpa disertai adanya usaha yang serius akan mengalami kegagalan, demikian sebaliknya. Berkaitan dengan metode pengajaran, al-Zarnuji mengemukakan pentingnya cara hapalan dan pemahaman, karena kedua cara ini berkaitan dengan sifat individu. Di samping itu, beliau juga mengembangkan cara belajar mudzakarah, munadzarah dan mutharahah.
Ada beberapa hal yang perlu digarisbawahi berkaitan dengan atmosfir akademik dan nilai estetik relasi antara guru dan murid sebagaimana dituangkan dalam Ta’lim al-Muta’allim, yakni pertama, titik tolak pemikiran pendidikan al-Zarnuji bermula dari pembicaraan tentang substansi dan esensi kehidupan. Dia cenderung menggunakan term-term tasawuf dalam pemikiran pendidikannya. Oleh karena itu, al-Zarnuji sangat menekankan pendidikan akhlak. Baginya, pendidikan yang utama adalah berangkat dari hal-hal yang substansial, yakni masalah moral (akhlak). Dengan kata lain, dari masalah yang substansi dan esensi ini akan melahirkan perform yang sejati.
Pola hubungan atau relasi antara guru dan murid dalam Ta’lim al-Muta’allim sebagaimana dianjurkan al-Zarnuji adalah semacam “laboratorium” pembelajaran akhlak untuk relasi yang lebih besar. Relasi ini dijiwai oleh sifat-sifat sufi seperti tawadhu’, sabar, ikhlas, penuh pengertian, dan saling menghormati. Ketika murid telah memiliki “pengalaman” relasi hidup sebagaimana dalam “laborat akhlak” maka yang akan muncul adalah pribadi-pribadi dengan bobot kualitas sebagaimana formulasi dalam laborat tersebut. Harapan yang akan terjadi adalah munculnya relasi yang sebenarnya dalam kehidupan bermasyarakat. Dengan sikap sebagaimana disebut di atas, kehidupan akan harmonis karena tidak ada “dominasi”, intimidasi, kecongkakan, keserakahan, dan kemunafikan. Perang, teror dalam berbagai bentuk, invasi, korupsi, kolusi, dan nepotisme adalah wujud dari dominasi agresif manusia atas manusia lain. Pola relasi yang tidak nyaman ini akibat dari teralienasinya masalah moral (akhlak), sebagaimana diingatkan oleh al-Zarnuji. Relasi dan interaksi atas dasar keramahtamahan dan saling menghormati sebagaimana dilakukan Nabi menjadi rujukan utama kitab ini.
Di samping itu, guru dalam Ta’lim al-Muta’allim memiliki peran sentral. Hal ini menjadi sangat beralasan, karena pemikiran sufistik al-Zarnuji sangat kental di dalamnya. Dalam tradisi sufi, seorang mursyid memiliki peran sentral dalam transfer ilmu. Pandangan demokratis al-Zarnuji tampak pada “keleluasaan” seorang murid untuk memilih dan menentukan gurunya. Hal ini menjadi sangat penting dalam proses pengembangan diri seorang murid. Secara psikologis, manakala siswa dalam keadaan “terpaksa” atau “terintimidasi”, maka yang terjadi adalah formalis.Yakni seolah-olah belajar, namun bukan muncul dari motivasi diri, tetapi karena “terpaksa”. Sekali lagi, budaya formal (formalitas) seringkali mengakibatkan kehancuran. Budaya pendidikan di
jaman modern terkadang memburu formalitas, sehingga memunculkan “budaya yang penting”, dengan diperoleh dengan cara apapun, sekalipun tidak diperbolehkan. Bagi al-Zarnuji, hapalan adalah salah satu strategi pembelajaran yang tepat untuk anak-anak. Hal ini karena anak-anak memiliki daya tangkap ( auditory) yang kuat. Implementasinya, pelajaran hari ini sebaiknya dipelajari tiga kali, pelajaran kemarin sebaiknya dipelajari dua kali, dan seterusnya. Dalam konteks ini, kontinuitas pembelajaran akan terjaga, sehingga pencerapan dalam memory menjadi kuat. Ini senada dengan Teori Decay (kelunturan), yang mana Spitzer mengatakan bahwa setelah jangka waktu sehari informasi yang dilupakan sekitar 46%, seminggu yang dilupakan 56%, dan sebulan informasi yang dilupakan adalah 81%. Hanya saja, hapalan memang semakin tidak cocok bagi anak yang usianya semakin besar, apalagi untuk remaja dan dewasa. Selain itu, strategi pembelajaran aktif ( active learning) lain adalah strategi pembelajaran
yang di dalamnya mengandung unsur saling mengingatkan ( mudzakarah), tukar pandangan ( munadzarah), dan berdiskusi ( mutharahah, munaqasyah).
“Laboratorium” sosial al-Zarnuji ini dapat mengembangkan sikap toleran, inklusif, dan pluralis. Dengan sikap ini akan memunculkan kerukunan sosial dan keharmonisan hidup. Hanya saja realitas yang ada, pemikiran al-Zarnuji dipahami secara tekstual oleh praktisi pendidikan.
Kesimpulan
1. Atmosfir akademik (pendidikan) dalam Ta’lim al-Muta’allim–sebagaimana diformulasikan oleh penggagasnya, al-Zarnuji– memiliki nuansa sufistik paedagogik. Hal ini tampak pada landasan pikir yang dibangun berangkat dari term-term tasawuf sebagai landasan utama. Konsep ridha, tawaddhu’, wara’, ikhlas, dan sabar merupakan kata kunci dalam proses pembelajaran.
2. Konsep ini diimplementasikan dalam wilayah “mikro” sosial, sebagai “laboratorium”, yang bernama pendidikan. Harapannya laboratorium tersebut dapat menjadi ujung tombak pelaksanaan nilai-nilai yang bernuansa sufistik paedagogik.
3. Dari pendidikan yang bernilai sufistik paedagogik tersebut akan melahirkan aktor-aktor intelektual yang berwawasan dan bermoral. Pluralitas, inklusivitas,toleransi, dan sikap-sikap lain, akan menghiasi kehidupan mereka dalam sebuah desa buana ( global village) yang penuh dengan keharmonisan dan ketenteraman.





Daftar Pustaka
Ahmad, Muhammad Abdul Qadir. 1986. Ta’lim al-Muta’allim Thariq al-Ta’allum. Mesir: Kairo University.
al-Abrasy, M. Athiyah. 1987. Dasar-Dasar Pokok Pendidikan Islam, Terj. Bustami A. Ghani dan Djohar Bahry. Jakarta: Bulan Bintang.
al-Abrasyi, M. Athiyah. TT. Beberapa Pemikiran Pendidikan Islam, Terj. Syamsuddin et. al. Yogyakarta: Titian Ilahi Press.
al-Ahwani, Ahmad Fuad. 1955. al-Tarbiyah fi al-Islam. Mesir: Isa al-Bab al-Halabi.
al-Maududi, Abu al-A’la. 1990. al-Khilafah wa al-Mulk, Terj. Muhammad al-Baqir. Bandung: Mizan, Cet. III.
Anam, Ibrahim. TT. Guru Makhluk Serba Bisa. Bandung: PT. al-Ma’arif.
Arifin, H.M. 1991. Filsafat Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara.
Asyurbasyi. 1991. Sejarah dan Biografi Empat Imam Madzhab, Terj. Sabil huda dan Akhmadie. Jakarta: Bumi Aksara.
Ginanjar, Ari Agustian. 2003. Rahasia Sukses Membangkitkan ESQ, Sebuah Inner Journey. Jakarta: Arga.
Khan, Muhammad Abdurrahman. 1986. Sumbangan Umat Islam terhadap Ilmu Pengetahuan dan Kebudayaan. Bandung: Rosdakarya.
Kuntowijoyo. 2005. Maklumat Sastra Profetik, dalam Horison Tahun XXXIV, Nomor 5, hal. 11.
Mahali, A. Mudjab dan Umi Mujawazah Mahali. 1992. Kode Etik Kaum Santri. Bandung: al-Bayan.
Mukhtar, Affandi. 1995. “Ta’lim al-Muta`allim Thariq al-Ta’allum”, dalam Lecture. Cirebon: LKPPI.
Nasution, S. 1990. Asas-Asas Kurikulum, Dasar-Dasar dan Pengembangannya. Bandung: Mandar Maju.
Plessner, M. 1913-1934. “Al-Zarnuji” dalam The Encyclopedia of Islam, Vol. IV. Leiden: E. J. Brill.
Thoha, Chabib. 1997. Substansi Pendidikan Islam (Kajian Teoritis dan Antisipatip Abad XXI). Banjarmasin: IAIN Antasari Banjarmasin.
Zein, M. 1991. Asas-asas dan Pengembangan Kurikulum. Yogyakarta: Sumbangsih Offset.

MEMULAI SEGALANYA DENGAN ILMU

Sejak awal, Islam telah menimbulkan suatu revolusi terhadap konsep agama dan maknanya bagi manusia. Berbeda dengan agama lain, Islam menghubungkan agama dengan sains, agama dengan politik, dunia dengan akhirat; semua hal-hal yang biasanya dilihat secara terpisah. Oleh karenanya, memahami konsep agama dalam perspektif Islam adalah sebuah kepentingan yang tidak bisa dilepaskan dari proses pembangunan kepribadian Islami (syakhshiyyah islamiyah).
Pentingnya Ilmu
Sejak awal, Islam telah menimbulkan suatu revolusi terhadap konsep agama dan maknanya bagi manusia. Berbeda dengan agama lain, Islam menghubungkan agama dengan sains, agama dengan politik, dunia dengan akhirat; semua hal-hal yang biasanya dilihat secara terpisah. Oleh karenanya, memahami konsep agama dalam perspektif Islam adalah sebuah kepentingan yang tidak bisa dilepaskan dari proses pembangunan kepribadian Islami (syakhshiyyah islamiyah).
Islam adalah konsep komprehensif atas segenap aspek kehidupan, bukan semata-mata berisi ritual dan doa-doa. Islam adalah ad-dien, bukan sekedar religion atau agama. Dengan selesainya masa pewahyuan, maka Islam telah memiliki konsep yang khas, komprehensif (syamil) dan lengkap (kamil) tentang dirinya, manusia, kehidupan, dan bagaimana menghubungkan semua itu dalam satu kesatuan (tawhid), demi mewujudkan pengabdian tunggal kepada Allah. Sayyid Abul A'la al-Mawdudi menulis sebuah risalah kecil yang dengan detail menjelaskan 4 konsep dasar dalam Islam : al-ilah, ar-rabb, ad-dien dan al-'ibadah.
Kita tidak bisa memakai frame-work Barat atau tradisi-tradisi agama pagan dalam memaknai Islam, terutama dalam kaitannya dengan kehidupan. Barat memakai pendekatan sosiologi-antropologi-psikologi untuk memahami agama, sehingga sepenuhnya bersifat empiris-sekuler-relatif. Menurut sudut pandang ini, segala yang tidak bisa dibuktikan lewat empirisme, adalah sesuatu yang tidak mungkin diterima. Jika pun diterima, maka ia bersifat relatif dan subyektif.
Diantara sekian banyak isu mendasar dalam peradaban umat manusia yang direvolusi oleh Islam adalah konsep ilmu. Dalam Islam, ilmu dilepaskan dari segala unsur mitos, magis, prasangka tak berdasar, dan hal-hal yang bersifat pseudo-sains lainnya. Contoh pseudo-sains adalah astrologi. Selain mengakui pencapaian ilmu melalui upaya-upaya eksperimental dan empiris, Islam juga meneguhkan bahwa ada sumber otoritas mutlak dalam ilmu, yakni wahyu dan kenabian. Sejak wahyu pertama turun, perintah pertama adalah iqra', yang memiliki makna dasar darasa (mengkaji), faqiha (memahami), jama'a (mengumpulkan), dan hafizha (menghafal).
Para ulama' generasi terdahulu pun telah mengisyaratkan pentingnya ilmu dalam karya-karya mereka. Imam al-Bukhari memulai kitab al-Jami' ash-Shahih dengan Kitab Bad'il Wahyi (awal mula turunnya wahyu). Ini adalah pengakuan terhadap otoritas tertinggi wahyu sebagai sumber ilmu. Dapat dimaklumi pula, wahyu pertama adalah surah al-'Alaq ayat 1-5, dimana di dalamnya Allah berfirman "alladzi 'allama bil qalam, 'allamal insana ma lam ya'lam". Hampir seluruh tafsir akan mencantumkan riwayat detail dan panjang tentang al-qalam (pena) dan peran sentralnya dalam peradaban. Bahwa, al-qalam adalah ramz al-'ilmi wa at-ta'lim (simbol ilmu dan pengajaran). Ilmu adalah ruh Islam. Tanpanya, Islam akan mati.
Kitab al-'Ilmi ditempatkan oleh Imam al-Bukhari sebagai bab ke-3, setelah Kitab Bad'il Wahyi dan Kitab al-Iman. Bahkan, di dalamnya ada bab yang berjudul Bab al-'Ilmi qablal Qaul wal 'Amal (pasal tentang ilmu sebelum berbicara dan berbuat), yang merupakan pasal ke-10 dalam Kitab al-'Ilmi.
Imam al-Ghazali memulai kitab Ihya' 'Ulumiddin-nya dengan Bab al-'Ilm. Dalam kitab at-Targhib wa at-Tarhib, Imam al-Mundziry menempatkan Kitabul 'Ilmi : at-Targhib fil 'Ilmi wa Thalabihi wa Ta'allumihi wa Ta'limihi wa ma Jaa'a fi Fadhlil 'Ulama' wal Muta'allimin (Bab tentang Ilmu : Motivasi tentang Ilmu, Mencari Ilmu, Mempelajari dan Mengajarkannya, serta Riwayat lain tentang Keutamaan Ulama' dan Pengajar), sebelum bab-bab ibadah seperti bersuci, shalat, zakat, puasa, haji, dan bahkan jihad fi sabilillah. Kitab al-'Aqidah an-Nasafiyah yang berbicara tentang teologi, juga mengawali pembahasannya dengan menjelaskan konsep ilmu dalam pandangan Islam.

Para Sahabat Menuntut Ilmu
Tidak mudah menggambarkan semangat para Sahabat menuntut ilmu. Bukan karena sedikitnya data, namun karena melimpah-ruahnya riwayat tentang hal itu sehingga mustahil ditulis dalam makalah ringkas ini. Sebagai bukti, adalah terawatnya ribuan hadits-hadits Rasulullah dalam berbagai kitab yang shahih dan kredibel. Jika tidak ada tradisi ilmu yang sangat kuat di tengah-tengah mereka, tentu kita di zaman ini akan bernasib sama dengan kaum Nasrani dan Yahudi, dimana agama mereka telah kehilangan otentisitas karena sumber-sumber aslinya tidak terawat dan tidak mungkin ditelusuri kembali.
Banyak diantara Sahabat yang kemudian dikenal sebagai para "Raja Perawi Hadits", dimana mereka menghafal dan mentransmisikan kembali puluhan, ratusan sampai ribuan hadits Nabi secara lisan dari ingatan mereka. Pada generasi berikutnya, rekor ini dipecahkan dengan lebih spektakuler lagi. Menurut sebuah catatan, Imam al-Bukhari menghafal sekitar 100.000 hadits shahih, dan kurang lebih 200.000 hadits lainnya dari berbagai tingkatan.
Adalah mengherankan, bahwa para Sahabat sangat teliti memperhatikan "peragaan" Rasulullah dalam segala hal. Bahkan, banyak diantaranya yang sangat sepele dan jarang diperhatikan. Riwayat tentang rambut, jumlah uban, bentuk wajah, postur tubuh, gigi, cara berjalan, dan lain-lain diingat dengan baik. Ada riwayat yang melimpah tentang cara menyisir rambut, memakai alas kaki, masuk kamar kecil, cara berpakaian, dsb. Sebagian kecil ada yang mencatat, dan mayoritas menghafalnya di luar kepala. Seluruh "peragaan" itu kemudian dikenal sebagai as-Sunnah, yang mencakup ucapan, tindakan, keputusan, dan gambaran sifat Rasulullah SAW.
Mengapa ilmu sedemikian penting bagi para Sahabat dan generasi terdahulu dari umat ini?

Ilmu adalah Landasan Taqwa
Dalam kitab Ta'limul Muta'allim (teori-teori belajar), Syekh az-Zarnuji menulis, "Kemuliaan ilmu semata-mata karena ia merupakan perantara menuju taqwa, dimana dengannya manusia memperoleh kemuliaan di sisi Allah dan kebahagiaan abadi."
Ibnu Rajab al-Hanbali berkata, “Dasar takwa adalah hendaknya hamba mengetahui yang harus dijaga kemudian dia menjaga diri.” Beliau juga berkata, “Barangsiapa menempuh suatu jalan yang dikiranya jalan ke Surga tanpa dasar ilmu, maka benar-benar telah menempuh jalan yang paling sukar dan paling berat, dan tidak menyampaikan kepada tujuan dengan kesukaran dan beratnya itu.”
Seorang ulama’ salaf yang lain berkata, “Bagaimana akan menjadi muttaqin, orang yang tidak mengerti apa yang harus dijaga?”
Imam asy-Syafii dalam kitab ar-Risalah berkata, "Adalah haqq bagi bagi seorang pencari ilmu untuk mencapai puncak kesungguhannya dalam memperbanyak ilmu, bersabar menghadapi rintangan yang menjauhkannya dari mencari ilmu, mengikhlaskan niat kepada Allah dalam mendapatkan ilmu baik secara tekstual (hafalan) maupun dengan menyimpulkan (analisa), serta berharap kepada pertolongan Allah di dalamnya karena tidak ada yang memperoleh kebaikan kecuali dengan pertolongan-Nya."
Beliau juga berkata, "Sesungguhnya seseorang yang memperoleh ilmu tentang hukum-hukum Allah dalam Kitab-Nya, baik secara tekstual (hafalan) atau dengan cara mencari dalil (istidlal), maka Allah akan memberinya taufiq untuk berbicara dan berbuat sesuai apa yang diketahuinya tersebut, beruntung dengan karunia dalam agama dan dunianya, terhindar dari keraguan, bersinar terang hikmah dalam hatinya, dan berhak untuk mendapat kedudukan sebagai imam (pemimpin) dalam agamanya."


Hidayah adalah Buah Ilmu
Imam Ghazali menulis kitab berjudul Bidayatul Hidayah (awal tumbuhnya hidayah). Secara umum, kitab ini berisi etika (adab) sehari-hari dalam kehidupan seorang muslim, sejak bangun tidur sampai tidur kembali. Dalam muqaddimah kitab tersebut, beliau menyatakan bahwa hidayah adalah tsamratul 'ilmi (buah dari ilmu). Dengan kata lain, hidayah tidak akan tercapai tanpa landasan ilmu, dan niat mencari ilmu haruslah demi meraih hidayah Allah.
Dalam pembukaan Bidayatul Hidayah, Imam al-Ghazali menulis, "Sesungguhnya hidayah – yang merupakan buah dari ilmu – mempunyai pangkal (bidayah) dan ujung (nihayah), yang tampak (zhahir) dan yang tersembunyi (bathin). Tidak mungkin sampai ke ujungnya sebelum memantapkan pangkalnya. Tidak akan mengerti bathin-nya sebelum menyaksikan (musyahadah) terhadap zhahir-nya."

Pentingnya Adab sebelum Ilmu
Islam menempatkan adab (etika) sebagai sebuah karakter yang penting dimiliki oleh seseorang, sebelum ia belajar dan agar bisa memperoleh manfaat dari ilmu yang dikajinya. Tidak ada ilmu yang memberikan manfaatnya jika adab-adabnya dilanggar dan dikacau-balaukan. Etika ini menyangkut niat; hubungan dengan guru, teman dan ilmu itu sendiri; kesungguhan, komitmen, semangat; tahapan belajar; berserah diri kepada Allah; bersikap wara' (menjauhi yang haram dan syubhat); dan seterusnya.
Syekh az-Zarnuji menulis, "Saya melihat mayoritas mahasiswa dan pelajar di zaman ini berusaha keras untuk menyelesaikan studi namun gagal mendapatkan manfaat ilmu, atau minimal terhalang untuk mencapainya, yakni mengamalkan dan menyebarkannya, sebab mereka keliru memilih jalannya dan tidak memenuhi persyaratan-persyaratannya. Dan, siapa pun yang keliru memilih jalan, ia pasti tersesat, gagal mencapai maksud dan tujuannya, baik sedikit maupun banyak."
Imam Malik bin Anas ketika kecil dan hendak berangkat mencari ilmu, dipanggil oleh ibunya, "Kemarilah, saya akan mengenakan untukmu pakaian ilmu." Sang ibu kemudian mendandani Malik kecil dengan pakaian yang pantas, lalu berkata, "Sekarang temui Rabi'ah, pelajarilah adab sebelum ilmunya." Rabi'ah adalah salah seorang ulama' Madinah yang sangat gemilang di masa itu, lengkapnya Rabi'ah ar-Ra'yi bin Abi 'Abdurrahman Farrukh.

Menjemput Hidayah
Imam al-Ghazali menyatakan, "Ketahuilah, manusia dalam mencari ilmu berada dalam 3 keadaan. Pertama, orang yang mencari ilmu sebagai bekal kembali kepada Allah, tidak menghendaki selain ridha-Nya dan (kebahagiaan) negeri akhirat, maka inilah orang yang beruntung.
Kedua, orang yang mencari ilmu untuk membantu kehidupannya yang sesaat (pragmatis), demi memperoleh kemuliaan, pangkat, dan harta; padahal dia mengerti dan menyadari dalam hatinya akan kerapuhan posisinya dan kerendahan tujuannya yang seperti itu; maka ia termasuk orang yang berada dalam bahaya besar. Jika ajalnya menjemput sebelum sempat bertaubat, dikhawatirkan ia terjerumus dalam su'ul khatimah. Urusan dirinya pun berada di tepi jurang, tergantung kehendak Allah (jika Dia mau akan diampuni, jika tidak maka akan disiksa). Jika ia mendapat taufiq untuk bertaubat sebelum tibanya ajal, kemudian menyandarkan kepada ilmunya itu amal, sekaligus berusaha mendapatkan apa-apa yang pernah dilewatkannya, maka ia akan menyusul kelompok orang-orang yang beruntung diatas. Sesungguhnya orang yang bertaubat dari dosa sama halnya dengan orang yang tidak berdosa.
Dan ketiga, orang yang dikendalikan oleh syetan sehingga menjadikan ilmunya sebagai sarana untuk menumpuk harta, mengejar pangkat, berbangga diri dengan banyaknya pengikut; (dimana) ia memanfaatkan ilmunya untuk memasuki segala celah demi meraih dunia dan semua keinginannya; padahal dia merasa dirinya di sisi Allah mempunyai kedudukan mulia, karena ia mengenakan simbol-simbol para ulama', memakai "uniform" kebesaran mereka, baik dalam berpakaian maupun berbicara; disertai kegesitan untuk meraup keuntungan duniawi, maka ia adalah orang yang akan binasa. Ia orang dungu yang tertipu, terputus harapan darinya untuk bertaubat sebab ia menyangka dirinya termasuk orang-orang yang berbuat baik (muhsin)."
Golongan ketiga tersebut adalah para ulama' as-suu', yakni orang-orang yang keberadaannya lebih dikhawatirkan oleh Rasulullah SAW dibanding Dajjal sekalipun. Mereka ini orang-orang pintar yang hanya berkeinginan untuk menyesatkan manusia, memalingkan mereka kepada harta dan kenikmatan duniawi, baik dengan perkataan maupun perbuatan. Dengan perbuatan dan sepak-terjangnya mereka menyeru kepada dunia, padahal "lisaanul haal afshahu min lisaanil maqaal". Perbuatan itu berbicara lebih fasih dibanding perkataan. Menurut Imam al-Ghazali, merekalah penyebab semakin beraninya orang-orang awam untuk berpaling kepada dunia. Sebab, orang awam tidak akan berani mengharapkan dunia kecuali para ulama'-nya telah berbuat demikian terlebih dahulu. Na'udzu billah.
Wallahu 'alam bish-shawab.
(Jum'at, 19 Sya'ban 1426 H)

Referensi :
1. Tafsir ad-Durrul Mantsur fit Tafsir bil Ma'tsur, Imam Jalaluddin as-Suyuthi
2. Tafsir al-Qur'an al-'Azhim, Imam Abul Fida' Ibnu Katsir ad-Dimasyqi.
3. Tafsir al-Jami' li Ahkamil Qur'an, Imam al-Qurthubi
4. Tafsir Jami'ul Bayan fi Ta'wilil Qur'an, Imam Ibnu Jarir at-Thabari
5. Ta'limul Muta'allim, Syekh az-Zarnuji
6. Bidayatul Hidayah, Imam Abu Hamid al-Ghazali
7. Ar-Risalah, Imam Muhammad bin Idris asy-Syafii
8. Mu'jam Mufradat Alfazhil Qur'an, ar-Raghib al-Ashfahani
9. Jurnal Islamia, No. 5 dan

HANYA KEINGINAN

Bangun malam, salah satu hal yang disenangiku, terlepas bangunnya itu untuk sholat malam ( tahajud ), atau untuk hal-hal biasa yang sangat manusiawi. Tapi yang jelas ketika bangun di tengah malam, dikala orang-orang sedang menikmati empukan kasur dan lembutnya bantal yang diiringi dengan gemerciknya suara air hujan di tengah malam yang menambah nikmat dan menghangatkan kelelapan tidur orang-orang, menjadikanku bisa merenung dan bermuhasabah ( instropeksi diri ) dan mengingat hal-hal yang sudah berlalu dilakukan sepanjang siang atau sepanjang hidupku dengan tenang dan khusyu. Maha benar Allah yang telah menciptakan malam sebagai waktu yang penuh dengan ketenangan dan keheningan, sehinnga hamba-hambanya bisa menggunakannya sebagai waktu mengingat dan merenungi semua perbuatan-perbuatan yang telah dilakukan pada siang harinya.
Kurang lebih satu bulan aku tinggal di rumah baru, tepatnya di Perum Taman Ventura Indah II, Blok D 5, yang berlokasi di Jalan Curug Agung, Tanah Baru, Beji Depok. Sebuah perumahan yang cukup sederhana dan cocok dengan keadaan keuangan keluarga. Sudah lama sekali, sebenarnya aku mendambakan sebuah rumah untuk menetapkan keluargaku yang selama tiga tahun hidup berpindah-pindah, dari satu rumah kontrakan ke rumah kontrkan yang lain. Betapa cape dan lelah sebenarnya, setiap bulan harus membayar uang kontrakan dengan dibarengi rasa tidak tenangnya, karena setiap saat harus berhati-hati dan berwaspada dengan pemilik kontrakan, berhubungan dan bemu’amalah baik denganya. Kalau tidak, harus bersiap-siap untuk selalu dinaikan harga kontrkannya, atau yang paling menakutkan, diusir karena bermasalah dengan pembayaran setiap bulan.
Al-hamdulillah, dengan karunia-Nya, aku bersama-sama dengan istriku yang tercinta dan yang sangat penuh pengertian, bisa bertekad untuk memulai berkredit rumah ( KPR ). Walaupun kami, sangat merasakan dan mengakui betapa banyak anggaran yang harus disiapkan untuk pengurusan KPR ini. Bisa dibayangkan, gajiku dan gaji istriku sebagai seorang guru honorer di sebuah sekolah pendidikan dasar Negeri, tidak dapat mencukupi sebagai persyaratan KPR. Tapi dengan pengertian dan kesetiann istriku, gajinya rela dijadikan sebagai uang setoran KPR ini. Dan dengan bantuan dan pengertian dari pihak sekolah yang mnenjadi tempat kerjaku dan istriku, persyaratan KPR tersebut bisa diusahakan, walaupun dengan menyesuaikan slip gajiku dan istri dengan persyaratan-persyaratan KPR. Akhirnya proses pengurusan KPR berjalan dengan lancar, sehingga pihak Bank bisa mempercayai kami untuk dijadikan sebagai nasabahnya dalam pengkredit rumah.
Sebenarnya sebelum KPR ini berlangsung, aku dan istriku mengalami satu hal yang sangat menyedihkan dan menyesalkan. Karena pada waktu itu, ceritanya aku bersama-sama dengan istriku, juga dengan teman-teman lain guru, mengikuti program pinjaman dari suatu Bank, yang kebetulan waktu pihak Bank tersebut mempromosikan proramnya tersebut ke tempat kerjaku, yang akhirnya aku dan istriku sepakat untuk mengikuti proggram Pinjaman tersebut. Dan persyaratan-persyaratannya pun disiapkan. Tapi ketika aku dan istriku dan juga teman-teman yang lainnya mau melakukan transaksi kredit di Bank DKI, ternyata sangat tidak diduga dan diperkirakan kenyataan berbeda dengan apa yang disampaikan di sekolah ketika pihak bank presentasi. Kami ( dengan istri ) tibalah waktunya dipanggil yang tadinya dikira untuk langsung dilakukan transaksi dan tanda tangan, akan tetapi yang terjadi adalah introgasi dan klarifikasi oleh pihak bank akan status saya. Yang dikatakan oleh pihak bank adalah kami dinyatakan telah memanipulasi data dari yang sebenarnya. Pihak merasa dibohongi dengan data yang kami tulis dalam fomolir proposal. Permaslaahannya adalah bahwa tidak diperbolehkannya suami istri masing-masing mengajukan proposal kredit peminjaman. Sementara kami waktu pengisian proposal adalah sesuai dengan KTP yang ada, yaitu masih status belum nikah. Maka oleh karena demikian maka mengajukanlah kami berdua masing-masing proposal kredit tersebut. Akhirnya kami ( sama istri ) sekaligus dinyatakan sebagai pemalsuan data, yang pada akhirnya kemudian berdampak pada proposal tersebut untuk tidak diterima dua-duanya. Inna Lillahi Wainnal Ilaihi Rojiun.