أهـــــلا وسهـــــلا ومرحــبـا

نــافذة العــلــم

Rabu, 06 Januari 2010

AL-ZAMAKHSYARI DAN TAFSIRNYA


A. Biografi Al-Zamakhsyarîy
1. Lahir Tumbuh Kembang dan Wafat
Nama lengkap al-Zamakhsyarîy adalah Abu al-Qâsim Jârullah Mahmud ibn ‘Umar ibn Muhammad ibn Ahmad ibn ‘Umar al-Khuwarizmi al-Zamakhsyarîy.[1] Ia lahir di tengah-tengah lingkungan sosial yang penuh dengan semangat kemakmuran dan keilmuan pada hari Rabu tanggal 27 Rajab 467 H. bertepatan dengan tahun 1074 M. di Zamakhsyar, suatu desa yang terdapat dalam wilayah Khuwarizm[2], sebelah utara Persia.[3]
Lingkungan keluarga yang berilmu dan taat beribadah. Ayahnya adalah seorang miskin dan tidak memiliki banyak harta, tetapi ia adalah seorang ‘alim, memiliki sifat wara’ dan zuhud..
Nama ibu dan silsilahnya tidak disebutkan oleh al-Zamakhsyarîy. Walaupun demikian, al-Zamakhsyarîy menggambarkan bahwa ibunya seorang yang memiliki watak dan pribadi yang halus. Hal ini ditunjukkan ibunya ketika al-Zamakhsyarîy masih berusia kanak-kanak. Suatu ketika, al-Zamakhsyarîy menangkap seekor burung, kemudian diikatkannya dengan sehelai benang. Tiba-tiba burung itu terlepas dari tangannya dan didapatinya kembali burung itu ketika masuk ke dalam lubang. Ia lalu menariknya keluar dan karena itulah kaki burung itu sampai terpotong. Melihat keadaan demikian, ibunya merasa sangat kasihan terhadap burung itu dan ia pun sampai mengatakan kepada al-Zamakhsyarîy: “Nanti Allah memotong kakimu sebagaimana engkau telah memotong kaki burung itu”.[4]
Dalam menjalani hidup di masa remajanya, al-Zamakhsyarîy memilih hidup membujang, al-Zamakhsyarîy memilih menjauhi wanita. Mengenai pilihannya untuk hidup membujang ini tidak dikomentarinya lebih jauh. Akan tetapi, banyak komentar bermunculan dari para ilmuwan mengenai pilihan hidupnya ini. Komentar tersebut bermunculan dari pemahaman para ilmuwan terhadap syair yang diciptakannya.
Jika dipahami dari bait syair yang diungkapkannya sendiri, kata ‘Abd al-Majid Dayyâb, pen-tahqiq kitabnya Rabi’ al-Abrâr, dapat dikatakan bahwa ia hidup membujang disebabkan karena menurutnya, orang yang paling bahagia adalah orang yang tidak mempunyai anak dan tidak mendirikan rumah. Ini dipahami dari syair yang diucapkannya sendiri :
واسعد الناس ناس قـط ما ولـدوا # ولا غـدوالخـراب الأرض عـمارا
فلم يذوقوا بأولاد إذا انـقرضوا # ثكلا ولا راعـهم بـيت إذا انـهـارا[5]
Orang yang paling bahagia adalah orang yang tidak beranak;
dan orang yang tidak mempunyai rumah;
Sehingga mereka tidak akan meratapi anak-anaknya jika mereka mati; dan mereka juga tidak akan terkejut, jika rumah mereka roboh.
Pernyataannya itu, menurut ‘Abd al-Majid Dayyâb dan Syekh Kâmil Muhammad, sesungguhnya adalah basa-basi belaka. Sebenarnya banyak hal yang tidak terungkap yang menyebabkan dia hidup dalam keadaan demikian. Di antara penyebabnya adalah kefakirannya dan ketidakstabilan hidupnya karena keadaan materi yang dimilikinya dan penyakit jasmani yang dideritanya. Cacat kakinya merupakan salah satu sebab yang menjadikan ia merasa lemah dan tidak sanggup untuk menanggung perkawinan dan tanggung jawab keluarga. Ini juga mungkin merupakan penyebab menjauhnya para wanita dari diri al-Zamakhsyarîy. Mungkin juga menjadi penyebabnya adalah karena kesibukannya menuntut ilmu dan kecintaannya terhadap ilmu dan karya-karya yang ditulisnya menyebabkan ia menjauh dari persoalan perkawinan.[6] Akhirnya Al-Zamakhsyarîy meninggal dunia di malam ‘Arafah pada tahun 538 H. di Jurjâniah, Khuwarizm setelah kembali dari Mekkah.[7]
2. Pendidikan dan Karir
Kecintaannya kepada bangsa Arab dan bahasa Arab serta ilmu pengetahuan sudah tertanam sejak kecil dalam diri al-Zamakhsyarîy.[8] Bahkan ketika usianya remaja ia sudah mempunyai cita-cita dan keinginan untuk menempati kedudukan yang dapat menunjang ilmu dan kepintarannya. Ia ingin memperoleh harta yang memadai bagi kehidupannya.[9] Hal ini didukung oleh kondisi lingkungan yang mengitari hidup dan kehidupan al-Zamakhsyarîy . Untuk itu ia lalu mengadakan berbagai usaha untuk memenuhi cita-citanya. Di negerinya ia telah mengadakan hubungan dengan para pembesar kerajaan pada masa pemerintahan Sultan ‘Abd al-Fattâh Malik syâh, yang bergelar Sultan Jalâl al-Dunyâ wa al-Dîn. Ia memuji dan menyanjung para pembesar kerajaan di negerinya dan ini menyebabkannya mendapatkan pemberian dari mereka. Apa yang diperolehnya itu belum memuaskan dirinya, karena ia tidak hanya ingin mendapat pemberian yang berupa harta, tetapi ia juga ingin mendapatkan pangkat dan kedudukan. Keinginannya yang terakhir ini tidak dapat dicapai di negerinya sendiri. Oleh sebab itu, ia melakukan perjalanan ke berbagai negeri untuk memenuhi cita-citanya itu. Pertama-tama ia pergi ke Khurasân. Di negeri ini ia memuji dan menyanjung banyak pembesar kerajaan, seperti Mujir al-Daulah Abu al-Fath, ‘Ali ibn al-Husain al-Ardistâni dan Mu’ayyad al-Mâlik ‘Ubaidillah ibn Nizâm al-Mulk. Karena apa yang dilakukannya terhadap para pembesar yang disanjungnya belum memberikan apa yang diinginkannya, maka ia lalu meninggalkan Khurasan menuju Isfahan (salah satu kota di wilayah Iran sekarang), tempat istana kerajaan Saljuk Muhammad ibn ‘Abu al-Fath Malik syâh (w. 511 H.).[10]
Suatu ketika di tahun 512 H. al-Zamakhsyarîy menderita sakit keras[11] yang menyebabkannya hampir melupakan segala yang diidam-idamkannya selama ini. Ia merasakan bahwa penyakit yang dideritanya itu merupakan ujian berat bagi dirnya yang telah berusaha untuk mendapatkan harta dan pangkat yang dicita-citakannya sebelumnya. Ia akhirnya menyadari dan berjanji, jika sembuh dari sakitnya, tidak akan lagi mendekati sultan atau menyanjungnya atau menginginkan suatu pangkat dan jabatan. Setelah sembuh, ia melanjutkan perjalanan ke Baghdad.[12] Di tempat itu ia tidak lagi berhubungan dengan penguasa karena menginginkan harta dan pangkat sebagaimana sebelumnya, tetapi ia mendatangi para ulama dan cendekiawan untuk mendapat ilmu pengetahuan dari mereka. Di sini ia mempelajari hadis dari berbagai ulama terkenal, seperti Abû al-Khattâb, ibn al-Barr, Abu Sa’ad al-Syifâni dan Syaikh al-Islâm Abû Mansûr al-Harisi.[13] Di sini ia pun mempelajari fikih dari berbagai ulama diantaranya adalah al-Damigâni dan al-Syarif ibn al-Syajari.[14]
Al-Zamakhsyarîy menyadari bahwa harta dan pangkat yang telah dicita-citakannya dan yang pernah diraihnya selama ini dianggapnya sebagai perbuatan dosa. Ia lalu bertekad untuk menghapus dosa-dosanya itu dengan jalan memohon ampun kepada Allah Swt. Di tempat yang lebih mustajab. Untuk itu ia lalu berangkat menuju Baitullâh di Makkah al-Mukarramah.[15]
Sesampainya di Makkah, al-Zamakhsyarîy berkenalan dengan beberapa ulama terkenal dan menimba ilmu dari mereka. Orang pertama yang ditemuinya di sana, sekaligus menjadi tetangganya adalah al-‘Amir al-‘Alawi ‘Ali ibn ‘Isa ibn Hamzah ibn Wahhâs.[16] Ia lalu berguru kepada Abdullah bin Thalhah al-Yabiri (w. 518 H.). Ia menggunakan waktunya selama dua tahun bersama ulama itu untuk mempelajari dan memperdalam kitab Sîbawaih.[17] Ia juga pernah mengunjungi Hamdan, suatu daerah yang terletak di Yaman, sebelah selatan Makkah al-Mukarramah.
Kerinduannya yang sangat dalam terhadap kampung halamannya menyebabkan ia meninggalkan Makkah menuju Khuwarizm. Ketika berada di kembali di Khuwarizm, ia tinggal di sebuah rumah khusus yang didirikan oleh Muhammad ibn Anusytakin yang bergelar Khuwarizmisyâh (w. 521 H.).[18] Setelah Muhammad Khuwarizmsyah meninggal, al-Zamakhsyarîy tinggal bersama Atsaz (w. 551 H.), anak Muhammad Khuwarizmsyâh dan atas perintahnya, al-Zamakhsyarîy mulai menyusun satu naskah buku yang terkenal dengan nama Muqaddimah al-Adâb (Pengantar Kesusasteraan).[19]
Perlakuan yang baik dari Atsaz itu tidak dapat membuat hati al-Zamakhsyarîy betah untuk tetap tinggal di Khuwarizm, negeri kelahirannya. Ia lalu pergi ke Mekkah untuk kedua kalinya. Dalam perjalanan ke sana ia singgah di Syam (Syiria) dan memuji Taj al-Mulk (w. 526 H.), walikota Damsyiq dan Syams al-Mulk, anak Taj al-Mulk.[20] Pada tahun itu ia menuju Makkah dan memasukinya. Ia berada di sana selama tiga tahun dan ketika itulah ia menyusun kitab tafsrnya al-Kasysyâf (Pembuka Tabir). Dalam kunjungan ini ia bertemu dengan ibn Wahhâs yang selalu memberikan bantuan dan pertolongan kepadanya. Ibn Wahhâs juga mendukung pandangan Mu’tazilah yang dianut oleh al-Zamakhsyarîy. Beberapa waktu kemudian, al-Zamakhsyarîy kembali ke kampung halamannya. Dalam perjalanannya ini ia singgah di Baghdad pada tahun 533 H. Di kota ini ia banyak membaca buku-buku tentang bahasa, terutama pada Abu Mansûr al-Jawalliqi.[21]
Bacaan-bacaannya yang cukup banyak mengenai berbagai bidang ilmu dalam berbagai buku, seperti tafsir, bahasa, maupun fikih menyebabkannya menjadi seorang ulama yang diakui oleh ulama-ulama yang semasa dengannya ataupun ulama sesudahnya. Abu al-Yaman Zubaid ibn al-Hasan al-Kindi (w. 613 H.), misalnya, mengatakan bahwa pada zamannya al-Zamakhsyarîy adalah seorang non-Arab yang paling dalam pengetahuannya mengenai bahasa Arab dan yang paling banyak melakukan berbagai usaha dan penelaahan atas kitab-kitab Arab dan tidak ditemukan lagi sesudahnya seorang ulama non-Arab yang mempunyai pengetahuan tentang bahasa Arab yang sangat mendalam seperti al-Zamakhsyarîy.[22]
Kecintaan al-Zamakhsyarîy terhadap ilmu pengetahuan diwujudkannya dalam bentuk mencari dan menuntut ilmu dari berbagai guru dan syekh. Ia tidak hanya berguru secara langsung kepada para ulama yang hidup semasa dengannya, tetapi juga menimba ilmu dengan menelaah dan membaca berbagai buku yang ditulis oleh para ulama sebelumnya. Selain kepada ayahnya sendiri, ia telah berguru dan menimba ilmu dari berbagai syekh, di antaranya Abu Mudâr Mahmud ibn Jarir al-Dabi al-Asbahani (w. 507 H.), Abu Bakar Abdullah ibn Talhah al-Yabiri al-Andalusi (w. 518 H.), Abu Mansur Nasr al-Harisi, Abu Sa’id al-Saqâni, Abu al-Khattâb ibn Abu al-Barr, Abu ‘Ali al-Hasan al-Muzfir an-Naisaburi al-Darir al-Lugawi (w. 473 H.), Qadi al-Qudâh Abi Abdullah Muhammad ibn ‘Ali al-Damigâni (w. 478 H.) dan al-Syarif ibn al-Syajari (w. 542 H.). [23]
Ilmu pengetahuan yang telah ditimba oleh al-Zamakhsyarîy dari berbagai syekhnya dikembangkannya lagi kepada para muridnya yang cukup banyak jumlahnya. Kadang-kadang syekh yang menjadi guru tempat ia menimba ilmu menjadi murid pula baginya. Dalam keadaan seperti ini, ia saling menerima dan memberikan ilmu. Hal ini terjadi antara al-Zamakhsyarîy dan beberapa ulama. Dari al-Sayyid Abu al-Hasan ‘Ali ibn Isa ibn Hamzah al-Hasani, salah seorang tokoh terkemuka dan terpandang di Makkah, misalnya, al-Zamakhsyarîy menimba suatu ilmu tertentu dan sebaliknya syekh ini menerima ilmu lain dari al-Zamakhsyarîy.[24] Di antara murid-muridnya yang lain[25] ialah Abu al-Mahâsin ‘Abd al-Rahim ibn Abdullah al-Bazzâz di Abyurad, Abu Umar ‘Amir ibn al-Hasan al-Sahhâr di Zamakhsyar, Abu Sa’id Ahmad ibn Mahmud al-Syazili di Samarkand, Abu Thahir Saman ibn ‘Abd al-Malik al-Faqih di Khuwarizm, Muhammad ibn Abu al-Qâsim yang belajar ilmu fikih, ilmu i’rab dan mendengarkan hadis dari al-Zamakhsyarîy, Abu al-Hasan Ali ibn Muhammad ibn Ali ibn Ahmad ibn Hârun al-Umrâni al-Khuwarizmi yang pada akhirnya menjadi ulama besar yang melahirkan karya-karya besar dan lain sebagainya.
Ilmu pengetahuan yang telah dipelajari al-Zamakhsyarîy telah dikembangkan dan disebarkan kepada para murid-muridnya tidak hanya dalam bentuk lisan, tetapi juga melalui buku-buku yang telah ditulisnya. Sepanjang hidupnya ia telah menyusun sejumlah buku dalam berbagai bidang, baik dalam bidang ilmu syari’ah (agama), bahasa maupun sastera. Buku yang telah disusunnya berjumlah lebih dari lima puluh judul yang hingga sekarang masih banyak dijumpai dan dijadikan referensi dan bahan kajian.
Keluarga al-Zamakhsyarîy adalah keluarga yang cinta kepada ilmu pengetahuan. Pengaruh keluarganya itu membawa pengaruh yang besar pula pada diri al-Zamakhsyarîy untuk menuntut dan mencari ilmu. Pengaruh tersebut telah tertanam dalam dirinya untuk selalu mengembara dari satu kota ke kota yang lain guna mencari ilmu, ia berpindah dari satu syekh ke syekh yang lain untuk tujuan berguru dan menimba ilmu dari mereka.
Sejak berada di kampungnya, al-Zamakhsyarîy sudah mulai mempelajari bidang ilmu pengetahuan keagamaan dan berguru kepada para ulama terkenal yang ada di sana. Di antara gurunya adalah Abu Mudîr Mahmud ibn Jarîr al-Dabi al-Isfahani (w. 507 H.), seorang ulama bahasa, nahwu dan sastera.[26] Setelah berguru kepadanya, al-Zamakhsyarîy lalu merantau ke Bukhâra, salah satu kota yang ada di Uzbekistan sekarang, dengan tujuan untuk menuntut dan mencari ilmu kepada para ulama yang ada di sana. Bukhâra pada waktu itu masih merupakan wilayah yang dikuasai oleh dinasti Samaniyah dan merupakan salah satu kota yang memiliki banyak ulama besar dan kenamaan. Di sini ia mempelajari hadis dari berbagai ulama, seperti Abû Mansûr Nasr al-Harisi, Abu Sa’ad al-Saqafi dan Abu al-Khattâb ibn Abu al-Batr. Ia mempelajari sastera dari Abu Ali al-Hasan ibn al-Muzfir al-Naisaburi.[27]
Ketika ia datang di Baghdad pada tahun 533 H. ia mempelajari ilmu fikih. Di sini ia belajar pada seorangahli fikih yang bermazhab Hanafi, yaitu al-Damigâni (w. 498 H.) dan al-Syarif ibn al-Syajari (w. 542 H.). Ia juga mempelajari berbagai kitab bahasa pada seorang ulama Baghdad yang bernama Abû Mansûr al-Jawaliqi (446-539 H.).
Al-Zamakhsyarîy mempelajari dan menelaah kitab Sibawaih ketika berada di Mekah pada seorang ulama bahasa yang bernama Abdullah ibn Talhah al-Yabiri (w. 518 H.).[28]
Kegiatan-kegiatan ilmiah yang diikuti oleh al-Zamakhsyarîy tidak terbatas hanya pada penimbaan ilmu pengetahuan yang sebanyak-banyak dari para ulama yang hidup pada masanya, dan pengembaraannya ke daerah-daerah untuk mencari ilmu, tetapi juga berusaha untuk mengajarkan ilmu yang dimiliki pada orang-orang yang membutuhkannya. Tidak mengherankan, kalau al-Zamakhsyarîy didatangi oleh sejumlah orang yang ingin mempelajari ilmu darinya. Sebagai seorang ulama, al-Zamakhsyarîy selalu didatangi oleh para penuntut ilmu ketika berada di berbagai kota dan tempat dalam melakukan perjalanannya. Ahmad Muhammad al-Hufi menyebutkan bahwa murid-murid al-Zamakhsyarîy cukup banyak jumlahnya.
Banyak murid yang pernah berguru kepada al-Zamakhsyarîy yang pada akhirnya menjadi ulama yang terkenal dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan. Di antaranya Abu al-Hasan Ali ibn Muhammad al-Amarani al-Khuwarizmi (w. 566 H.), yang kemudian terkenal sebagai seorang sasterawan dengan julukan “Hujjat al-Afâdil wa al-Fakhr al-Masyâyikh”. Abu al-Hasan berguru pada al-Zamakhsyarîy tentang kesusasteraan Arab. Muridnya itu kemudian menjadi sahabat yang paling besar peranannya dalam mengembangkan sastera Arab.
Ia menghabiskan sisa umurnya untuk mengembangkan ilmu pengetahuan. Ia didatangi oleh banyak murid yang datang dari berbagai pelosok negeri. Dengan pengetahuan yang dimiliki, ia telah sanggup menghasilkan beberapa karya tulis, seperti kitab al-Mawâdi’ wa al-Buldân, kitab Tafsir Al-Qurân dan Kitab Isytiqâq al-Asma’.[29]
3. Karya-Karyanya
Di antara buku-buku yang ditulis al-Zamakhsyarîy seperti yang dikutip oleh Amin al-Khuli adalah sebagai berikut [30] :
1. Dalam bidang aqidah, seperti Risâlah fî Kalimât asy-Syahâdah, yang terdapat di Berlin, Kitâb al-Kasyfâfî Qirâ’ât Al-Qur’an, terdapat di Medinah, I’râb Gharîb Al-Qur’an
2. Dalam bidang hadis dan ilmu hadis al-Fâiq fî Gharîb al-Hadîs, Mukhtashar al-Muwâfaqât Baina Ahl al-Baît wa as-Shahâbah, Khasâish al-Asyarah al-Kirâm al-Bararah,
3. Dalam bidang bahasa; Asâs al-Balâghah,
4. Dalam bidang nahwu; al-Anmuzaj fî al-Nahwi, al-Amal fî al-Nahwi, Syarh li al-Kitâb Sîbawaîh, al-Mufashshal, al-Mufrad wa al-Muallaf
5. Dalam bidang Arudh; al-Qistâs
6. Dalam bidang ilmu geografi; al-Amkinah wa al-Jibâl, wa al-Miyâh
7. Dalam bidang sastera; Nawâbigh al-Kalâm, Atwâq al-Zahâb, Muqâmât, Syarh al-Muqâmât as-Sâbiqah, Diwân al-Khatab,
8. Bidang lain; Kitâb al-Ajnâs dan beberapa kitab lainnya.
B. Metode Tafsir al-Kasysyâf
1. Motivasi Menulis Tafsir
Dalam menguraikan sejarah penulisan Tafsir al-Kasysyâf, penulis akan menguraikan sesuai dengan pemaparan al-Zamakhsyarîy dalam muqaddimahnya, antara lain diuraikan bahwa penulisan ini berawal dari banyaknya ulama dari kalangan Mu’tazilah yang menafsirkan Al-Qur’an dengan cara menggabung-gabungkan antara ilmu-ilmu bahasa dengan prinsip-prinsip pokok agama. Setiap kali mereka datang kepada al-Zamakhsyarîy untuk mendiskusikan ayat yang akan dikaji, maka beliau memberikan penjelasan mengenai hakekat makna kandungan ayat. Ternyata keterangan dan uraian beliau dapat diterima dengan baik oleh para ulama tersebut, bahkan mereka merasa kagum. Akhirnya mereka menginginkan adanya sebuah kitab tafsir yang berisi penafsiran-penafsiran seperti itu, dan dengan bulat mereka mengusulkan supaya al-Zamakhsyarîy mengungkapkan hakekat kandungan Al-Qur’an dan semua kisah yang terdapat di dalamnya, termasuk segi-segi penakwilannya. Akan tetapi beliau keberatan untuk memenuhi permintaan mereka dengan mengatakan :
أن املي عليهم الكشف عن حقائق التنزيل وعيون الأقاويل في وجوه التنزيل,
tetapi mereka tetap merasa perlu dan sangat menginginkan adanya kitab tafsir itu.[31]
Informasi lain yang penulis temukan bahwa latar belakang penulisan kitab tafsir al-Kasysyâf adalah bahwa usulan dan permintaan untuk menghimpun apa yang diketahuinya tentang hakikat-hakikat ayat yang diturunkan (حقائق التنزيل) dalam Al-Qur’an datang dari kalangan ilmuwan dari perguruan tinggi tempat ia mengajar ilmu bahasa Arab dan ushuluddin (teologi). Permintaan tersebut tidak segera dipenuhinya, akan tetapi permintaan itu terus mengalir dari berbagai pihak, sampai pihak pemerintah ikut pula merasa perlu bercampur tangan untuk mendukung permintaan dari berbagai pihak itu.[32]
Sebenarnya al-Zamakhsyarîy sadar akan kewajibannya untuk memenuhi keinginan mereka, tetapi beliau tetap keberatan. Namun setelah mengingat kondisi masyarakat yang begitu rusak ketika itu, bahkan para tokohnya pun nampak begitu merosot atas minat dan semangatnya dalam mempelajari ilmu tafsir, apalagi untuk tertarik pada pengetahuan yang lebih tinggi, seperti ilmu bayan dan ilmu ma’ani, maka al-Zamakhsyarîy pun bersedia menuruti keinginan mereka.[33]
Sebuah informasi lain menyebutkan bahwa latar belakang penulisan kitab tafsir al-Kasysyâf yaitu berawal ketika ia datang ke Mekah al-Mukarramah, lalu seorang Amir yang mulia, yaitu Abu al-Hasan Ali ibn Hamzah, meminta kepadanya agar ia mengarang sebuah kitab tafsir. Kemudian ia mengabulkan permintaan itu dan mulailah ia menulis. Kitab tafsir al-Kasysyâf tersebut berhasil diselesaikan dalam waktu yang sangat singkat ( tiga tahun ), padahal menurutnya ia perlu waktu lebih dari tiga puluh tahun untuk menyelesaikannya. Rupanya Allah membukakan hatinya melalui barakah karena dekatnya beliau dengan bayt Allah al-Haram.[34]
Pada awalnya al-Zamakhsyarîy hanya menerangkan huruf-huruf yang ada pada pembukaan surah-surah Al-Qur’an (terutama huruf-huruf muqaththa’ah), dan sebagian dari makna surah al-Baqarah. Sekalipun demikian, keterangan beliau cukup luas.
2. Sumber-sumber Penafsiran
Al-Zamakhsyarîy menafsirkan Al-Qur’an dengan mempergunakan ra’yu. Semua ayat yang dapat menimbulkan pengertian bahwa Allah itu serupa dengan makhluk, ditakwilkannya.. Dalam menafsirkan Al-Qur’an beliau berpegang pada segi-segi balâghah untuk menjelaskan antara hakekat dengan majâz. Dalam menerangkan makna-makna Al-Qur’an beliau berpegang pada segi bahasa dan sangat memperhatikan ilmu Bayân dan hampir dapat dikatakan bahwa al-Zamakhsyarîy dalam menafsirkan Al-Qur’an tidak mempergunakan cerita-cerita Israiliyat dan dongeng-dongeng.[35]
Manna’ Khalil al-Qaththân memberikan komentar tentang tafsir al-Kasysyâf. Menurutnya tafsir al-Kasysyâf adalah sebuah kitab tafsir yang paling masyhur di antara sekian banyak tafsir yang disusun oleh mufassir bir ra’yi yang mahir dalam bidang bahasa[36] yang menurut Harun Nasution, suatu pemahaman ayat tidak lagi berdasarkan pada arti lafdzi, tetapi dengan melampaui arti lafdzi untuk arti majazi dan arti metaforis, yang dibaca bukan yang tersurâh tetapi apa yang tersirat, seperti halnya dengan tafsir al-Kasysyâf sangat dipengaruhi oleh perkembangan ilmu kalam.[37]
Pernah diceritakan bahwa ketika menulis tafsirnya, dia memulai dengan kata-kata; segala puji bagi Allah yang telah menciptakan Al-Qur’an ( khalaq Al-Qur’an ). Tetapi dia dinasihati oleh seseorang temannya agar membuang kata-kata tersebut, karena orang akan meninggalkan kitabnya dan tidak mau membacanya. Kemudian beliau pun merubahnya dengan kata-kata ; segala puji bagi Allah yang telah menjadikan Al-Qur’an ( Ja’ala Al-Qur’an ). Padahal menurut beliau baik term khalaqa maupun Ja’ala adalah merupaka kata sinonim. Al-Alusi, Abu Sa’ud, an-Nasafi dan para mufassir lain banyak menukilkan dari kitab tafsir al-Kasysyâf.[38]
3. Referensi Penafsiran
Secara garis besar, referensi yang digunakan al-Kasysyâf, sebagaimana dijelaskan oleh Mushthafa al-Shawi al-Juwaeni, terbagi kepada enam macam refrensi ; [39]
a. Referensi tafsir ; Mujahid (W.104 H.), Amr bin ‘Ubad al-Mu’tazili (W.144 H.), Abu Bakr al-‘Asham al-Mu’tazili (W.235 H.), al-Zujaj (W.311 H.), al-Rumani (W.384 H.), ‘Alawiyyin, yaitu tafsir yang banyak diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib dan Ja’far al-Shadiq dan tafsir-tafsir lain yang bertentangan dengan pemikiran Mu’tazilah, seperti tafsir-tafsir Jabbariyah, Khawarij, Rafidah dan al-Mutashawwifah.
b. Refrensi Hadits ; beliau tidak menyebutkan sumber-sumber refrensi hadits kecuali hadits yang berasal dari Shahih Muslim.
c. Refrensi Qiraat ; Mushhaf Abdullah bin Mas’ud, mushhaf al-Harits bin Suweid shahib ‘Abdullah, mushshaf Ubay dan Mushshaf ahli Hijaj dan Syam.
d. Refrensi Bahasa Arab ; kitab Sibawaih, Islah al-Mantiq li ibn al-Sakiti (W.244 H.), al-Kamil al-Mubarrad (W. 285 H.), al-Mutammim fi al-Khat wa al-Hijai li Abdullah bin Daristaweih (W. 347 H.) dan al-Hujjah al-Farisi (W.377 H.)
e. Refrensi Sastra ; al-Hayawan al-Jahidz, Hamasah Abi Tamam dan Nawabighul Kalim
f. Refrensi Nasihat dan cerita ; Syarah bin Hausyab, Rabi’ah bin al-Bisriyah, Thawus bin Abu Malik bin Abu Dinar dan sebagian kitab-kitab sejarah lainnya.
4. Metode Penafsiran
Dari beberapa uraian di atas, dapat dipahami bahwa metode yang dipergunakan oleh al-Zamakhsyarîy dalam menafsirkan Al-Qur’an adalah termasuk metode tahliliy[40]. Dalam menafsirkan suatu ayat, al-Zamakhsyarîy mengikuti runtutan ayat seperti yang tersusun dalam mushaf dan selanjutnya menerangkan rahasia-rahasia balaghah dan berpegang kepada ra’yu atau ijtihadnya.
5. Corak Penafsiran
Adapun corak penafsiran al-Zamakhsyarîy adalah bercorak kebahasaan dan teologis. Kedua corak ini sangat mendominasi penafsiran-penafsiran al-Zamakhsyarîy dalam kitab tafsir al-Kasysyâfnya. Kecenderungan al-Zamakhsyarîy ini dilatarbelakangi oleh kelebihan dan keseriusannya dalam menggali ilmu-ilmu bahasa Arab dan aqidah Mu’tazilah yang diperpeganginya. Oleh karenanya, dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an, al-Zamakhsyarîy terlebih dahulu menjelaskan kedudukan lafal dalam ayat kemudian berupaya mengungkap makna-maknanya dan semua ayat yang menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya dita’wilkan, agar manusia terhindar dari kemusyrikan.[41]
Dilihat dari sudut keilmuan dan karyanya, al-Zamakhsyarîy adalah seorang imam dalam bidang ilmu bahasa, ma’ani dan bayan.[42] Karena itu bagi orang-orang yang membaca kitab-kitab ilmu nahwu dan balaghah tentu sering menemukan keterangan-keterangan yang dikutip dari kitab al-Zamakhsyarîy sebagai hujjah. Beliau juga adalah orang yang mempunyai pendapat dan hujjah sendiri dalam banyak masalah bahasa Arab. Beliau bukan tipe orang yang senang mengikuti langkah orang lain yang hanya menghimpun dan mengutip saja, tetapi ia mempunyai pendapat yang orisinil yang jejaknya ditiru dan diikuti orang lain. Imam al-Zamakhsyarîy mempunyai banyak karya dalam bidang hadis, tafsir, nahwu, bahasa, ma’ani dan lain-lain. Di antara karangannya ialah al-Fa’iq tentang tafsir hadis, al-Minhaj tentang ushul dan al-mufashshal tentang bahasa.[43]
Dari segi aqidah dan mazhab fiqhi yang diperpeganginya, al-Zamakhsyarîy adalah seorang penganut Mu’tazilah dan mazhab Hanafi. Ia mena’wilkan ayat-ayat Al-Qur’an sesuai dengan mazhab dan aqidahnya dengan cara yang hanya diketahui oleh orang-orang yang ahli, dan menamakan kaum Mu’tazilah sebagai “saudara seagama dan golongan utama yang selamat dan adil”. [44] Al-Zamakhsyarîy juga sangat keras membantah faham tasawwuf.[45]
Dalam menafsirkan Al-Qur’an, al-Zamakhsyarîy sangat menekankan pada upaya mengungkap makna yang terkandung dalam sebuah ayat. Beliau mengatakan dalam muqaddimah kitabnya bahwa tingkat ilmu yang dimiliki oleh para mufassir dalam menafsirkan Al-Qur’an rata-rata tidak seberapa jauh berbeda, bahkan hampir dikatakan sama. Jika terjadi perbedaan antara mufassir yang satu dengan mufassir yang lain itupun sangat kecil. Perbedaan sebenarnya hanya terletak pada kemampuan mengungkap makna ayat-ayat yang bersifat rahasia, samar dan tersembunyi di belakang kata-kata dan kalimat. Kenyataan menunjukkan bahwa makna yang tersirat hanya dapat diungkap oleh satu di antara seribu orang ulama, yaitu ulama yang telah mempunyai tingkat imu pengetahuan yang tinggi. [46]
Betapapun hebatnya seseorang dalam ilmu bahasa sehingga mampu menguasai bahasa Arab di luar kepala, tak seorang pun yang sanggup menembus rahasia dan menyelami hakekat makna Al-Qur’an kecuali setelah benar-benar menguasai dua jenis ilmu yang khusus berkenaan dengan Al-Qur’an, yaitu ilmu Ma’âni dan ilmu Bayân. Selain itu, seorang mufassir harus berwatak jujur, lapang dada, bertekad keras, sadar, berpandangan tajam terhadap setiap persoalan bagaimanapun kecilnya, bersifat hati-hati menghadapi isyarat yang terbersit dari Al-Qur’an sekalipun tidak demikian jelas kelihatan, berpengetahuan luas mengenai puisi dan prosa, memiliki pengalaman dalam berbagai eksperimen serta mengetahui benar cara mengatur dan menyusun kalimat untuk menghindari kesempitan makna atau kemungkinan khilaf.[47]
6. Sistematika Penulisan
Menurut Ahmad Muhammad al-Khufi, sebelum al-Zamakhsyarîy menulis tafsirnya, beliau banyak membaca tafsir-tafsir Mu’tazilah sebelumnya, seperti Al-Qadhi Abdul Jabbar dan Mujahid.[48]
Uraiannya dimulai dengan menjelaskan arti kosa kata diikuti dengan penjelasan arti global ayat. Beliau juga terkadang menjelaskan munasabah (keterkaitan) antar ayat dan terkadang pula mengemukakan syair yang berhubungan dengan ayat yang ditafsirkannya.
Langka-langkah yang digunakan ketika menafsirkan ;
1. Menyebutkan nama surâh beserta kedudukannya, baik sebagai makkiyah maupun madaniyah, menjelaskan makna surâh dan nama lain dari surâh itu, jika ada riwayat yang menyebutkannya. kemudian menyebutkan keutamaan surâh, memasukan Qirâ’at, nahwu, sharaf dan ilmu-ilmu bahasa arab lainnya.
2. Kemudian menjelaskan dan menafsirkan ayat-ayat dengan mengutif pendapat orang sebelumnya, memberi argumentasi dan membantah pendapat orang yang berlawanan dengannya.[49] Kadang-kadang memberikan ayat-ayat pendek yang sejenis maknanya untuk mendukung argumentasinya.
3. Jika berkaitan dengan ilmu kalam, beliau membela dan mendukung aliran Mu’tazilah dengan argumen yang dia kuasai.[50] Adapun yang berkaitan dengan aya-ayat hukum, khususnya fiqih, beliau memaparkan banyak pendapat para ahli fiqih tanpa ada panatik pada madzhab Hanafi.[51]
4. Menjelaskan lafadz dari sudut kebahasaan, sesuai dengan keahliannya
5. Menjelaskan ayat Muhkamat dan Mutasyabihat, beliau berpendapat, Muhkamat adalah ungkapannya pasti, terjaga dari kemungkinan dan kerancuan arti. Sedangkan Mutsyabihat adalah ayat-ayat yang mengandung arti relatif. Ayat-ayat muhkamat itu merupakan ummul kitab, dimana ayat-ayat mustasyabihat harus mengacu dan dikembalikan kepada Allah Swt.
6. Membahas i’rab dan mengambil Qirâ’at yang dianggap mendukung argumennya. Seperti yang dinukil oleh Muhammad Husen al-Dzahabi, bahwa al-Zamakhsyarîy dalam menjelaskan kalimat حتى يطهرن dalam surâh Al-Baqarah/ 3:222, mengambil Qirâ’at Abdullah bin Mas’ud yang membaca يتطهرن dalam arti mandi besar. Sedangkan jika dibaca yathurna tanpa tasydid, maka artinya putusnya darah haid. Menurut Imam Abu Hanifah, suami boleh menggauli istrinya setelah putus darah haidnya, walaupun belum mandi. Suami tidak boleh menggauli istrinya, sebelum putus darah haidnya, walaupun masa haidnya lama. Sedangkan menurut Imam Syafi’i, suami tidak boleh menggauli istri yang putus darah haidnya, sebelum istrinya mandi terlebih dahulu. Karena al-Zamakhsyarîy mengambil bacaan Abdullah bin Mas’ud ( dengan tasydid ) yang berarti mandi, maka secara tidak langsung dia sependapat dengan Imam Syafi’i.[52]
7. Karakteristik
Hasbi ash-Shiddieqy lebih lanjut menjelaskan bahwa di antara pendirian al-Zamakhsyarîy ialah ia tidak mempercayai sihir. Tafsir al-Kasysyâf dinilai sebagai tafsir yang paling baik dalam menafsirkan Al-Qur’an dengan ijtihad, termasuk golongan Mu’tazilah dan Ahlus Sunnah. Namun golongan Ahlus Sunnah memberikan kritik terhadap pendirian al-Zamakhsyarîy dalam bidang i’tikad karena berbau i’tizal.[53] Hal ini nampak jelas ketika terjadi perbedaan antara Ahlus Sunnah dan Mu’tazilah, maka beliau menafsirkan ayat-ayat tersebut dengan mengikuti ajaran Mu’tazilah.[54]
Hampir dapat dikatakan bahwa al-Zamakhsyarîy dalam menafsirkan Al-Qur’an tidak mempergunakan cerita-cerita Israiliyat dan dongeng-dongeng.[55]

[1]Lihat, Amin al-Khuliy, Kasysyâf al-Zamakhsyarîy (Mesir: Maktabah al-Usrah, t.th.), Hal. 5, Muni’ Abdul Halim Mahmud, Manâhij al-Mufassirûn (Beirut: Dâr al-Kutub, 1978), Hal. 105, Ibrâhim Dasuqy, “Sekilas tentang Riwayat Pengarang” dalam al-Zamakhsyarîy, al-Kasysyâf, Jilid IV (Teheran: Intisyârat Afataba, t. th.), Hal. 307, Hal.A.R. Gibb dan J. H. Kraemers, Shorter Encyiclopedia of Islam (Leiden: E. J. Brill, 1974), Hal. 654. Lihat pula Abdul Azis al-Mu’thiy Arafah, Qa«iyah al-I’jâz Alqurâniy wa A£aruhâ fi Tadwîn al-Balâghah al-Arabiyah (Cet. I; Beirut: ‘Alim al-Kutub, 1985 M./1405 H.), Hal. 660. Al-Zamakhsyarîy mendapat gelar Jârullah (tetangga Allah), karena dia amat dekat kepada Allah dan tinggal beberapa lamanya di bayt al-Harâm (Mekah). Lihat selengkapnya, Syekh Kâmil Muhammad Muhammad ‘Uwaidah, Al-Zamakhsyarîy al-Mufassir al-Balîgh (Cet. I; Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1994 M./1414 H.), Hal. 5. Gelaran lain yang diberikan kepadanya adalah Taj al-Islâm (Mahkota Islam) dan kebanggaaan bangsa Khuwarizm. Lihat, Ali Hasan al-‘Aridl, Târikh Ilmi al-Tafsîr wa Manâhij al-Mufassirîn (Cet. II; Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1994), Hal. 28.
[2]Amin al-Khuliy, loc. cit., Ibrâhim Dasuqy, loc. cit., Abdul Azis al-Mu’thiy Arafah, loc. cit., Syekh Kâmil Muhammad Muhammad ‘Uwaidah, op. cit., Hal. 27.
[3]Andrew Reffin, “Zamakhshary,” dalam Mircea Eliade, ed., The Encyclopedia of Religion, vol. 15 ( New York : Macmillan Library Reference, t.th ), h. 554-555
[4]Thib Raya, Tafsir al-Kasysyâf, Warta Alauddin, Edisi 78 (Ujungpandang: IAIN Alauddin, 1998), Hal. 99 yang dikutip dari Miftâh as-Sa’âdah, Jilid 2, Hal. 100.
[5]Abd. Majid Dhayyâb, Muqaddimah al-Tahqîq, dalam Rabi’ al-Abrâr oleh al-Zamakhsyarîy (Mesir: Dâr al-Hai’ah al-Mishriyyah li al-Kuttâb, 1992), Hal. 17. Lihat pula, Syekh Kâmil Muhammad Muhammad ‘Audhah, op. cit., Hal. 57.
[6]Abdul Majid Dhayyâb, Ibid., Hal. 17-18.
[7]Syekh Kâmil Muhammad Muhammad ‘Uwaidah, op. cit., Hal. 56. Lihat pula Manna’ Khalil al-Qaththân, Mabâhis fi ‘Ulum Al-Qur’an (Riyadl: Maktabah al-Ma’arif li al-nasyr wa al-Tauzi’, 1996), Cet. II, Hal. 380. Lihat pula Muhammad Husein al-Dzahabi, op. cit, Jilid. I, Hal.438
[8]Untuk selengkapnya baca, Syekh Kâmil Muhammad Muhammad ‘Audhah, op. cit., Hal. 9.
[9]Abdul Majid Dhayyâb, op. cit., Hal. 16.
[10]Muhammad ibn Abu al-Fath Maliksyâh adalah seorang raja keturunan Saljuk. Ia adalah seorang sultan yang bijaksana, berakhlak baik dan pemberani. Di antara kebaikan yang pernah dilakukannya adalah apa yang dilakukannya terhadap golongan Bathiniyyah. Ia meyakini bahwa untuk menciptakan kemaslahatan negeri dan penduduknya, perlu dilakukan usaha-usaha menghapuskan segala pengaruh yang ditimbulkan oleh golongan Bhatiniyyah itu dan membakar tempat-tempat tinggal mereka. Untuk itulah usaha itu dilakukannya. Musthâfa al-Shâwi al-Juwaini, Manhaj al-Zamakhsyarîy fî Tafsîr Alqur’ân al-Karîm wa Bayân I’jazih (Mesir: Dâr al-Ma’ârif, t. th.), Hal. 34.
[11]Bahkan menurut Syekh Kâmil Muhammad Muhammad ‘Audhah bahwa pada sebagian besar perjalanannya, al-Zamakhsyarîy ditimpa sakit keras. Lihat, Syekh Kâmil Muhammad Muhammad ‘Audhah, loc. cit.
[12] Ibid., Hal. 45.
[13] Thib Raya, op. cit., Hal. 100.
[14] Ibid. Lihat pula, Syekh Kâmil Muhammad Muhammad ‘Uwai«ah, op. cit., Hal. 46.
[15]Muni’ Abd. Halim Mahmud, loc. cit
[16]Ali bin Isa adalah seorang yang terpandang dan disegani di Makkah al-Mukarramah. Tidak hanya oleh penduduk Makkah, tetapi juga oleh para pemimpinnya. Ia memiliki banyak buku dan karangan. Lihat, Syekh Kâmil Muhammad Muhammad ‘Uwai«ah, op. cit., Hal. 47.
[17] Nama lengkapnya adalah Abu Bisyr ‘Amr ibn Ustmân ibn Qanbar (w. 188 H.). Ia lebih dikenal dengan nama Sîbawaih. Sibawaih hanyalah sebuah julukan, tetapi julukannya ini lebih dikenal daripada nama aslinya sendiri. Julukan ini dipandang unik, karena belum ada yang memperoleh julukan yang sama seperti ini sebelumnya. Kata Sîbawaih itu sendiri terdiri atas dua kata yaitu سي yang berarti “tiga puluh” dan بوي yang berarti “bau harum”. سيبويه berarti tiga puluh bau harum. Ia digelari dengan nama itu karena setiap orang yang bertemu dengannya selalu mendapat bau harum darinya. Sebuah pendapat mengatakan bahwa Sibawaih berasal dari bahasa Persia yang terdiri dari dua buah kata, yaitu sib yang berarti buah apel dan waih berarti wangi. Jadi Sîbawaih adalah buah apel yang wangi. Riwayat lain juga menyebutkan bahwa julukan itu diberikan kepadanya karena kedua pipinya bagai dua buah apel. Ada pula yang memberitakan bahwa julukan itu diberikan karena setiap orang berjumpa dengannya selalu mencium bau wewangian minyak berbau apel yang sering ia gunakan. Sementara pandangan yang lain juga menyebutkan bahwa julukan itu diberikan karena tingkah lakunya yang lembut. Pembawaannya yang baik selalu mendapat pujian dari orang yang bergaul dengannya. Sîbawaih adalah ulama yang sangat terkenal terutama di bidang nahwu. Ia berguru dari sejumlah ahli nahwu pada masanya dan memiliki sejumlah murid yang tidak terhitung jumlahnya. Ia telah menyusun sebuah buku yang sangat terkenal yaitu Kitâb Sîbawaih yang berisi uraian mengenai persoalan-persoalan nahwu. Kitab itu menjadi rujukan utama bagi para ulama nahwu yang hidup sesudahnya dan hingga kini masih menjadi rujukan penting. Lihat, Hasan Mu’arif Ambary, et. al., Ensiklopedi Islam, Jilid II (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996), Hal. 169.
[18] Syekh Kâmil Muhammad Muhammad ‘Uwaidah, op. cit., Hal. 50-51.
[19]Dalam pengantar buku ini al-Zamakhsyariy menyebutkan kelebihan yang dimiliki oleh Atsaz dalam menjaga ilmu pengetahuan dan sastera serta para ulamanya. Lihat, Thib Raya, op. cit., Hal. 101.
[20] Ibid.
[21] Syekh Kâmil Muhammad Muhammad ‘Uwai«ah, op. cit., h. 53-55.
[22] Ibid., Hal. 55. Lihat pula Musthâfa al-Shâwi al-Juwaini, op. cit., Hal. 42.
[23]Thib Raya, op. cit., Hal. 102.
[24]Thib Raya, loc. cit.
[25]Syekh Kâmil Muhammad Muhammad ‘Uwaidah, op. cit., Hal. 15-16.
[26]Ibid., Hal.103.
[27]Ia adalah seorang penulis, penyair dan pengarang buku. Ia adalah seorang ulama yang telah berjasa memberikan pendidikan kepada penduduk Khuwarizm dan menjadi guru al-Zamakhsyarîy. Ibid.
[28]Ia adalah seorang ulama besar dalam bidang sastera.Kedalaman pengetahuannya dalam ilmu kebahasaan sebanding dengan kedalaman pengetahuannya dalam ilmu nahwu. Ia adalah salah seorang ulama ahl sunnah yang tawadhu. Ibid.
[29]Thib Raya, loc. cit.
[30]Lihat, Amîn al-Khulîy, op. cit., Hal. 18-24.
[31]Dari ungkapan al-Zamakhsyarîy itulah kemudian dijadikan judul kitabnya al-Kasysyâf ‘an Haqâiq at-Ta’wîl wa ‘Uyúnil Aqâwil fi Wujúh at-Ta’wîl.
[32]Ali Hasan al-‘Âridl, op. cit., Hal. 29.
[33]Lihat al-Zamakhsyarîy, al-Kasysyâf, Juz I (Mesir: Mus¯âfa al-Bâby al-Halabîy, 1972), Hal. 17-18.
[34]Ibid.
[35]Hasbi ash-Shiddieqy, op. cit., Hal. 242.
[36]Manna’ Khalil al-Qaththân, op.cit, Hal. 380. Lihat pula Lihat pula Muhammad Husein al-Dzahabi, op. cit, Jilid. I, Hal.437-438.
[37] Harun Nasution, Islam Rasional (Bandung: Mizan, 1996), Cet. IV, Hal. 307.
[38], op. cit., Hal. 92.
[39] Mushthafa al-Shawi al-Juwaeni, Manhaj al-Zamakhsyarîy fi al-Tafsir, ( Cairo : Dar al-Ma’arif, tt ) , Hal. 23-30
[40]Metode Tahliliy ialah mengkaji ayat-ayat Al-Qur’an dari segala segi dan maknanya. Dalam menafsirkan Al-Qur’an dengan metode tahliliy, seorang pengkaji menafsirkan ayat demi ayat dan surah demi surah, sesuai dengan urutan dalam mushaf Utsmaniy. Untuk itu ia menguraikan kosa kata dan lafadz, menjelaskan arti yang dikehendaki, sasaran yang dituju dan kandungan ayat, yaitu unsur i’jaz, balaghah dan keindahan susunan kalimat, menjelaskan apa yang diistinbathkan dari ayat, yaitu hukum fiqhi, dalil syar’iy, arti secara bahasa, norma-norma akhlak, aqidah atau tauhid, perintah, larangan, janji, ancaman, haqiqat, majaz, kinayah, isti’arah serta mengemukakan kaitan antara ayat-ayat sebelum dan sesudahnya. Oleh karenanya, ia merujuk kepada asbab nuzul ayat, hadis-hadis rasulullah Saw. dan riwayat para sahabat dan tabi’in. Lihat Ali Hasan ‘Aridl, Sejarah dan Metodologi Tafsir (terj. Ahmad Arkom), (Cet. II; Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1994), Hal. 41-78 dan Abd. Hayy al-Farmawiy, Al-Bidayat fi al-Tafsir al-Maudhu’iy diterjemahkan oleh Suryan A. Jamrah dengan judul Metode Tafsir Maudhu’iy (Cet. I; Jakarta: LSIK dan PT. Raja Grafindo Persada, 1994), Hal. 11-29.
[41]Hasbi ash-Shiddieqiy, loc. cit.
[42] Thamem Ushama, Methodologies of The Quranic Exegesis (Cet. I; Kualalumpur: A. S. Noordeen, 1995), Hal. 90. Pada bagian lain Manna’ Khalil al-Qaththân menyebutkan bahwa al-Zamakhsyarîy adalah ahli nahwu, bahasa Arab dan tafsir. Lihat, Manna’ Khalil al-Qaththân, op. cit., Hal. 388.
[43]Ibid.
[44]Ibid., Hal. 389.
[45]Hasbi ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Qur’an/Tafsir (Cet. XV; Jakarta: Bulan Bintang, 1994), Hal. 278.
[46]Al-Zamakhsyarîy, Juz I, op. cit., Hal. 9-10.
[47]Ibid., Hal. 16-17.
[48]Ahmad Muhammad al-Khufi, al-Zamakhsyarîy, ( Cairo : Dar al-Fikr al-‘Arabi, 1996 ), Hal. 35
[49] Sayyid Muhammad Ali Ayazi, al-Mufassirun wa hayatuhum wa manahijuhum, ( Teheran : Mu’assasat al-Thaba’ah wa al-nasr al-tsaqaf wa irsyad, tt ), Hal. 578
[50] Ali Ayazi, OP.Cit, Hal. 579
[51] Ibid, 579
[52] Muhammad Husain al-Dzahabîy, op.cit, hal. 481
[53]Ibid., Hal. 243.
[54]Lihat, Muni’ Abdul Halim, op. cit., Hal. 106.
[55]Hasbi ash-Shiddieqy, op. cit., Hal. 242.

1 komentar:

  1. salam kenal. aku follow mas. ntar follow balik ya. sukron ^_^

    BalasHapus

Bagaimana pendapat anda dengan yang ini